Sedangkan hasil penelusuran yang dilakukan, jalan RS Koja sesungguhnya tak pernah ada di Jakarta dan lokasi taman BMW sendiri berjarak lebih dari 6 km dari RS Koja. Dari situ saja terlihat sudah kejanggalan dari BAST tersebut.
Selain itu disadari atau tidak oleh Muliadi 12 hektar dalam SPH itu juga sudah bermasalah. Sehingga ia hanya menjawab pertanyaan Gatra kekurangan 14 hektar diperoleh melalui konsinyasi di PN Jakut.
Kalimat ini sulit dicerna dan menambah deretan kejanggalan. Bagaimana mungkin menyerahkan kewajiban melalui konsinyasi? Tanah siapa yang dikonsinyasi? Bukankah tanah yang diserahkan harus `clear and clean'? Keterangan Muliadi tersebut perlu dikorek KPK lebih dalam.
Mengapa kita nilai pengembang menantang Pemprov DKI Jakarta? Muliadi sudah berani menyalahkan Pemprov DKI Jakarta, bahwa setelah PT Agung Podomoro menyerahkan SPH aslinya, maka urusan sertifikasi adalah urusan Pemprov. Seharusnya Pemprov DKI sudah sertifikatkan tahun 2003, karena sudah punya `hak pakai'. Lho, kapan SPH diserahkan? PT Agung Podomoro sudah berani mengingkari pasal 4 (2) dalam BAST yang ia tandatangani bahwa sertifikasi tanggung jawab pengembang.
Mengapa PT Agung Podomoro berani mengingkari? Muncul pertanyaan, apakah ada komitmen `terselubung' ketika ditanda tangani BAST yang saat itu menjelang Pilkada DKI 2007? Tentu kita yang bukan penyidik tidak bisa menjawab. Hanya penyidik KPK yang bisa mengurai kasus tanah taman BMW. Semoga, menjadi prioritas bagi KPK.
Penulis: Lukman Azis Kurniawan, Peneliti pada Jakarta Monitoring Community