Oleh pengamat ekonomi politik, DR Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siapa yang sangka kalau kasus Bank Mutiara (dahulu Bank Century) bukan saja bertele-tele, tapi juga menyengat kesadaran publik saat BPK menyatakan kerugian negara mencapai Rp689,3 miliar ditambah Rp6.742 miliar sehingga berjumlah Rp7,4313 triliun.
Saya sendiri berpendapat kerugian itu tidak demikian besarnya, melainkan jumlah itu dikurangi dengan harga penjualan Bank Mutiara.
Tapi kerugian ini bertambah lagi karena Bank Mutiara membutuhkan injeksi modal Rp1,249 T. Kebutuhan ini disebabkan kredit bermasalah yang perlu dicadangkan mencapai Rp621,1 miliar dan kebutuhan biaya antara lain untuk pembayaran pajak Rp222 miliar dan pembayaran nasabah Antaboga Rp40,7 miliar, Mandatory Convertible Bonds Rp167,4 miliar dan pembayaran atas kewajiban 3 koperasi Rp173,3 miliar.
Yang jadi masalah, apakah kredit bermasalah yang muncul dari manajemen lama Rp545,4 miliar sedangkan dari manajemen baru Rp84,7 miliar tidak teridentifikasi dengan baik dengan pendekatan mitigasi risiko ? Pertanyaan yang sama bisa diajukan saat bank tersebut diambil alih LPS.
Apakah manajemen atas unjuk LPS tidak memperhitungkan risiko likuiditas ? Pertanyaan ini diajukan justru karena transfer dana dari LPS ke Bank Century tidak menggunakan pembatas jumlah injeksi penyertaan modal sementara (cut off) sebagaimana hasil audit BPK.
Dalam hal ini BPK berpendapat, karena pada saat pengambil alihan Bank Century oleh KSSK tidak ada ketentuan berapa besar injeksi modal yang ditentukan dan LPS kemudian juga tidak menetapkan batas atas besarnya penyertaan modal sementara, maka sejak diputuskan diambil alih hingga penambahan modal Rp1,249 T LPS tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
Di tvOne pada acara Bang One Show saya memang memilah kasus Bank Century menjadi empat bagian. Pertama, merger (penggabungan) menjadi Bank Century. Ke dua, dari merger ke FPJP. Ke tiga, dari FPJP ke KK. Ke empat, dari KK ke KSSK. Persoalan pertama dan ke dua adalah persoalan bagaimana
BI menjalankan peranannya sebagai regulator dan lembaga pengawas industri perbankan.
Kalangan perbankan mengerti bahwa bank ini sejak awal memang tidak sehat. Ini tergambar dalam posisi merger dan setelahnya. Pada titik inilah perubahan PBI untuk memberi bantuan likuiditas melalui FPJP menjadi puncak buruknya pengawasan BI terhadap Bank Century. Justru karena memahami persoalan ini
lebih dalam, maka situasi nilai tukar yang bergejolak pada Oktober-November 2008 dimanfaatkan BI untuk mengatakan bahwa krisis berdampak sistemik.
Sebenarnya sejumlah petinggi BI tidak setuju dengan keputusan, Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik. Semua indikator keuangan menunjukkan tidak berdampak sistemik. Bank Century menjadi berdampak sistemik saat digunakan indikator psikologis.
Saya berpendapat, penggunaan indikator psikologis inilah yang menunjukan bahwa penyelamatan Bank Century dipaksakan seperti yang saya kemukakan saat di hadapan Pansus Bank Century 21 Jan 2010. Karena itu menjadi ceroboh.
Sayangnya kecerobohan ini diulang. Jika LPS menerapkan prinsip kehati-hatian, paling tidak belajar dari cara Pemerintahan BJ Habibie melakukan rekapitalisasi perbankan hingga Rp430,2 tiliun untuk mencapai CAR tertentu, lalu manajemen atas unjuk LPS juga menerapkan prinsip ini serta proper and comply, maka tidak akan berlaku tudingan moral hazard.
Pada manajemen misalnya, tugas utamanya adalah menjaga kepercayaan nasabah sehingga nasabah tidak menarik dananya disebabkan LPS sudah menjadi pemegang saham terbesar. Kenyataannya, Bank Century tetap berhadapan dengan pasar yang tidak percaya. Begitu juga dengan soal kredit bermasalah.
Tidaklah mungkin kolektibilitas aktiva langsung macet. Infonya, kondisi ini sudah berjalan sejak Mei 2013 di tengah laporan keuangan sebelumnya Bank Mutiara terus meraih untung.
Padahal jika melihat kinerja keuangan bank ini yang belum diaudit per Oktober 2013, kredit yang diberikan mencapai Rp11,4 T dan simpanan berjangka Rp11,9 triliun serta penempatan di BI Rp2,29 triliun, Kas Rp220 miliar dan penempatan pada bank lain Rp 608,1 miliar. Angka- angka ini menunjukkan bahwa jika manajemen dan LPS sebagai pemegang saham mau realistis, injeksi Rp1,249 guna mencapai kecukupan modal minimum (CAR) 14 persen tidak dibutuhkan.
Pindahkan saja dana penempatan di BI dan di bank lain ke pos modal. Ambil pula pencadangan aktiva dari sini. Memang ada dampaknya, yakni aset menurun dan harga jual Bank Mutiara lebih jatuh lagi. Hal inilah yang tidak dikehendaki karena berarti kerugian negara makin besar.
Karena itu dibutuhkan injeksi modal tambahan agar aset tidak menurun dan Bank Mutiara nampak kinclong. Akankah upaya ini sukses ? Mudah-mudahan saja kerugian negara mengecil, walau sulit dihindari.