News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Corby dan Perang Narkoba

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Leigh Corby

Oleh: Yacob Rambe

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang narapidana narkoba, Schapelle Leigh Corby yang dipenjara diLapas Krobokan Denpasar, Bali, telah dibebaskan dengan status Bebas Bersyarat,  pada 10 Februari 2014. Kasus Schapelle Leigh Corby oleh banyak kalangan dirasakan sebagai tindakan pemerintah  yang tidak tepat, sehingga menimbulkan suasana pro dan kontra dalam masyarakat.

Dalam menghadapi masalah narkoba pada prinsipnya ada tiga upaya penanggulangan, yaitu pertama, unsur penegakan hukum oleh BNN dan  berbagai Badan Penegakan Hukum, kedua bermacam-macam lembaga penyembuhan/detoksifikasi dan ketiga lembaga rehabilitasi mental.

Banyak kelompok masyarakat tidak sadar bahwa narkoba benar-benar ancaman yang sangat jahat, dampaknya adalah penderitaan jiwa dan raga bagi penderita ybs, baru kemudian yang bersangkutan mati. Karena tidak peduli, banyak golongan masyarakat termasuk kelompok intelektual  yang menganggap Narkoba sekedar identik denganpenyakit aids, penyakit kelamin, atau sekedar mirip minuman beralkohol.
Banyak orang tidak tahu bahwa narkoba adalah  benar-benar setan  (ada yang mengatakan dalam Al Quran disebutkan hal ini).

Berbagai tokoh yang beraliran keras, berpendapat pengidap narkoba (khususnya yang sudah tergolong ketergantungan) hampir tidak bisa diobati, mereka yang sudah pada taraf ketergantungan pada dasarnya ia sudah mati dan hanya menjadi problema bagi keluarga dan masyarakat disekitarnya, selanjutnya pasti  berakhir dengan kematian yang menyedihkan.

Meskipun demikian, kelompok garis keras masih berharap seorang pengguna narkoba (sebelum menjadi golongan ketergantungan) dapat  disembuhkan dan di rehabilitasi, tetapi harus melalui sistem detoksifikasi (dibersihkan racunnya dan keinginannya menggunakan narkoba) dan rehabilitasi (melupakan narkoba)dengan metode-metode  tindakan yang keras.

Metode pengobatan dan rehabilitasi yang keras tersebut hanya  berguna apabila adakebijaksanaanpemerinah dibidangpenegakan hukum yang berani, tegas dan keras, yaitu memberantas perdagangan gelap narkoba, seperti yang dilakukan Schapelle Leigh Corby.

Apabila perdagangan gelap terus terjadi dan pemerintah bersikap lunak, generasi  muda Indonesia bisa habis tidak ada yang bisa diharapkan. Anak-anak yang baru sembuh dari pengobatan dan rehabilitasi akan didekati lagi oleh para pengedar narkoba untuk diajak menggunakan kembali Narkoba dengan segala bujukannya.

Jumlah pengidap narkoba ternyata setiap saat bertambah besar jumlahnya. Oleh sebab itu orang seperti Schapelle Leigh Corby seharusnya dilenyapkan, bukan dibebaskan. Negara tinggal memilih, ingin mendapatkan pujian menghormati HAM, atau generasi mudanya habis.

Pihak BNN sebegai pihak yang sehari-hari menangani narkoba sudah mengatakan ancaman narkoba sudah sangat serius. Faktor penyebab utama adalah karena aspek bisnis telah masuk dalam  dunia narkoba, sehingga tanpa  pengguna narkoba yang besar jumlahnya, bisnis narkoba akan gulung tikar. Sebaliknya bisnis narkoba memang besar keuntungannya.

Inilah tantangan berat dalam upaya penanggulangan bahaya narkoba  menurut  aliran garis keras. Sekali lagi, kekhawatiran yang paling serius dan suatu hal ini yang perlu diwaspadai adalah narkoba telah menjadi bidang bisnis illegal yang luas jaringannya dan hal ini dikhawatirkan telah mempengaruhi upaya-upaya penangggulangan baik pada aspek penegakan hukum, maupun pengobatan dan rehabilitasi.

Kasus Lapas Cebongan Yogyakarta yang menggemparkan,  juga berawal dari ulah para pengedar narkoba yang menganiaya seorang Bintara Kopassus yang sedang berkunjung ke sebuah Café.

Corby bukan hanya Pemakai, Pengadilan di Denpasar telah membuktikan ia adalah pengedar internasional, penjahat kelas berat,  cukup diyakini ia bukan hanya pengguna tetapi sudah termasuk dalam jaringan bisnis narkoba Internasional.  Ia memang penjahat.

Ia menyelundupkan marijuana yang sisembunyikan didalam alat peluncur lautnya, bukan dalam tasnya. Jadi jelas ada itikad jahatnya menyelundup bukan untuk sekedar dikonsumsi sendiri ia membuat test case cara menyelundupkan dan diperdagangkan, seolah olah datang ke Denpasar sebagai turis.

Corby dalam proses banding kalah dan ia oleh MA dkembalikan pada vonis PN 20 tahun penjara, tetapi mendapat grasi lima tahun dari Presiden sehingga seharusnya hukuman yang harus dijalani adalah 15 Tahun.

Namun baru sembilan tahun berjalan, secara mendadak diumumkan ia mendapat pengampunan dan dibebaskan dengan bersyarat. Narapidana narkoba kelas berat Schapelle Leigh Corby  terpidana 20 tahun penjara, ternyata  justru diuntungkan selain oleh grasi  lima tahun dari Presiden juga berbagairemisi dari Lapas.

Kini karena dimugkinkan oleh UU, Corby yang baru menjalani hukuman 9 tahun, bahkan dibebaskan secara bersyarat. Justru karena pemerintah berpendapat bebas bersyarat itu haknya.

Dalam penjelasannya Menkumham Amir Syamsuddin, sebagai pejabat penegakan hukum yang paling tinggi, ternyata tidak memberikan keterangan sebagai pejabat negara yang menghukum, tetapi terkesan malah sebagai pembelanya Corby, Menkumham malah berusaha meyakinkan masyarakat  mengenai hak-hak Corby untuk bebas.

Menkumham menegaskan hak untuk bebas itu adalah sebuah fakta hukum yang dibuat oleh DPR RI, artinya rakyat jangan membantah dan tidak setuju.

Sikap ini terdengar aneh, seharusnya sebagai penegakhukum dalam rangka mencegah perdagangan gelap narkoba, meskipun ada aturan hukum yang memungkinkan seseorang narapidana kasus pidana dibebaskan dengan syarat, tetapi terhadap kasus narkoba harus dipersulit. Pejabat penegak hukum sebaiknya jangan ikut-ikut LSM selalu mengeluarkan alasan klasik membela pelanggarannya dengan alasan demi HAM.

Terus terang Pasal UU yang memungkinkan seorang narapidana kasus pidana diberikan kebebasan bersyarat, seharusnya hanya digunakan secara sangat selektif, misalnya karena terpidana masih belum dewasa. 

Sayangnya juga tidak ada politisi atau ahli hukum yang menjelaskan lahirnya UU dengan Pasal Pembebasan Bersyarat yang telah diputuskan oleh DPR RI, bahwa UU tersebut seharusnya wajib  digunakan dengan sangat selektif, disertai pertimbangan yang mendalam oleh instansi-instansi yang kompeten, bukan diputuskan secara sefihak oleh Pemerintah.

Prosedur atau proses yang ketat ini lebih-lebih perlu dilakukan dengan serius, karena keputusan bebas bersyarat berkonsekunsi lebih berat dari pemberian grasi. Dengan grasi seorang narapidana akan tetap berada di penjara sampai hukumannnya habis.

Menkumham mestinya juga harus menjelaskan apakah ada syarat-syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam upayanya memperoleh keputusan bebas bersyarat. Sebab kalau syarat tersebut hanya yang bersifat formil, yakni berkelakuan baik, rajin, tidak pernah membuat masalah dan sebagainya tentu semua terpidana akan berusaha mengajukan permohonan bebas bersyarat, sehingga jumlahnya bisa mencapai 1.291 orang  seperti dewasa ini.
Pertimbangan HAM dalam menghukum seseorang tetap perlu dipertimbangkan, tetapi tentu ada azas lain yang juga harus diperhatikan, misalnya azas urgensi. Apakah ada urgensi untuk membebaskan Schapelle Leigh Corby, sebagian besar dari pihak yang berwenang berbicara tentang narkoba pasti akan mengatakan, sama sekali tidak ada  urgensinya.

Oleh sebab itu sebenarnya banyak kalangan dalam masyarakat bertanya, apa alasan khusus yang menjadi pertimbangan Pemerintah, sehingga  dengan anggapan Corby berkelakuan baik, rajin, tidak pernah membuat masalah dsb,  maka ia dibebaskan dengan syarat-syarat . Sekalilagi Pemerintah adalah  penegak hukum, bukan pembela Corby, sehingga sebagai pertanggung jawaban kepada masyarakat tentunya harus ada penjelasan apa pertimbangan lain selain hak karena UU,  sedangkan hak bukanlah sesuatu yang mutlak harus diberikan.

Seperti tuduhan bahwa kehidupan demokrasi kita baru bersifat prosedural, ada partai politik, ada Pemilu, ada DPR dan ada UU, tetapi apa yang terjadi belum sepenuhnya mencerminkan upaya untuk memenuhi kepentingan rakyat (belum sesuai dengan azas dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat) tetapi masih untuk kepentingan partai politik yang berkuasa, untuk kepentingan para birokrat/penguasa yang ada dibidang politik, dibidang ekonomi dan pemilik kepentingan-kepentingan lainnya, maka praktek hukum dinegara ini dikhawatirkan juga masih bersifat prosedural saja, sudah diproses secara prosedur hukum, sudah sesuai dengan hukum acara pidana,  namun  vonisnya sama sekali jauh dari tuntutan rakyat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini