Oleh: Abdul Waidl
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
Minggu ini kita mendapat suguhan adegan kekerasan anak SD terhadap temannya. Sekitar 7 anak (laki-laki dan perempuan) secara bergantian menghujani tendangan dan pukulan kepada satu siswi (perempuan) di pojok kelas.
Tidak tampak ada tindakan pencegahan dari anak-anak yang lain, mereka sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Adegan yang dipertontonkan melalui YouTube tersebut tentu memprihatinkan. Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan hal tersebut?
Bila mereka tidak suka terhadap kelakuan atau perkataan si korban, mengapa anak-anak yang kira-kira masih berusia sekitar 10 tahun tega membalas dengan kekerasan dan melakukannya secara bersama-sama (bergerombol)? Apa yang terjadi dengan pendidikan kita, dan terutama dengan anak-anak kita? Mental apa yang sedang diidap anak-anak kita?
Anak-anak seperti sifatnya yang asli, mereka adalah pencontoh yang baik atas apa yang terjadi di keluarga dan lingkungan sekitarnya, termasuk lingkungan pendidikan.
Mereka bisa mencontoh apa yang terjadi dalam keluarga yang menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan, tontonan sinetron yang menyuguhkan anak-anak SD-SMA yang sudah memiliki anggota gang dan melakukan kekerasan, tontotan para elit pemimpin negara yang berantem bahkan secara fisik, menyaksikan tawuran antar pelajar, dan sebagai “pelaku langsung” kekerasan dalam permainan (games).
Di dalam dunia pendidikan, anak-anak juga kerap menerima kekeraasan, seperti halnya kekerasan karena beban mata pelajaran yang harus dikerjakan di dalam kelas dan dilanjutkan di rumah.
Mereka sedikit memiliki waktu bermain sebagai anak-anak. Mereka jenuh dan stress.
Ditambah dengan tontonan kekerasan yang berubah menjadi tuntunan, maka memukul dan menendang kepada teman menjadi bagian dari “pelampiasan” atau menjadi bagian dari sedikit hiburan.
Hal yang lain, keadaan demikian juga sekaligus mencerminkan rendahnya pendidikan karakter dan budi pekerti kepada anak-anak.
Anak-anak hanya “dipaksa” menelan praktek pengajaran yang melelahkan, dipaksa menguasai pelajaran secara kognitif. Termasuk dalam pelajaran agama, mereka hanya diharuskan menguasai ajaran-ajaran formal agama.
Anak-anak tidak diberi suguhan materi akhlaq dan karakter yang melibatkan rasa dan hati.
Disebabkan oleh tekanan keharusan lulus secara formal, menambah depresi tak tertahankan dialami anak-anak.