Oleh: Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
TRIBUNNEWS.COM - "Kabar gembira bagi kita semua, partai politik pendukung KMP setuju Perppu Pilkada".
Boleh jadi, pelesetan iklan ekstrak kulit manggis yang acap kali menghiasi layar kaca ini cocok menggambarkan prospek persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Penegasan dukungan nyata parpol pendukung Koalisi Merah Putih (KMP) dikemukakan Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon. Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang semula menolak, berbalik mendukung peraturan yang diterbitkan saat injury time Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan adanya pernyataan kedua tokoh sentral KMP ini, persetujuan Perppu No 1/2014 hanya menunggu waktu penyelenggaraan masa sidang DPR yang dimulai Januari 2015. Meski demikian, segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam proses persetujuan di DPR.
Alat konsolidasi
Jika ditelusuri tahap akhir pembahasan RUU Pilkada setelah hasil pemilu anggota legislatif (pileg) serta pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) diketahui, isu perubahan model pemilihan ini dapat dikatakan jadi alat konsolidasi politik kekuatan politik di DPR. Paling tidak, penggunaan isu ini sebagai alat konsolidasi dan penggalang kekuatan politik sangat terasa di barisan parpol pendukung KMP.
Gejala awal penggunaan isu tersebut dapat dilacak dari upaya sungguh-sungguh parpol pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hampir dapat dipastikan, perubahan sikap mayoritas parpol di DPR dari semula mendukung model pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD menjadi amunisi yang meneguhkan barisan pendukung KMP. Perimbangannya sangat sederhana, jikalau dipilih DPRD, merujuk hasil Pileg 2014, mayoritas kepala daerah akan dikuasai KMP. Dengan isu ini, KMP hadir menjadi blok politik yang sangat solid.
Bahkan, ketika proses pemilihan pimpinan DPR berlangsung, isu model pilkada menjadi instrumen kunci untuk mendapatkan dukungan Partai Demokrat (PD). Dengan menggunakan alasan KMP akan mendukung Perppu No 1/2014, sebagai kekuatan penyeimbang, PD memilih bergabung dengan KMP. Sebagaimana kita ketahui, dengan janji mendukung Perppu No 1/2014, KMP berhasil menguasai pimpinan DPR. Padahal, apabila PD memindahkan dukungan kepada parpol pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pimpinan DPR belum tentu jatuh ke KMP.
Tak hanya kepentingan soliditas konsolidasi di DPR, boleh jadi, secara individual Aburizal Bakrie dapat dikatakan sebagai pihak yang meraih keuntungan dari isu pilkada oleh DPRD. Sejumlah kalangan menduga, salah satu isu yang dimanfaatkan Aburizal untuk dapat dukungan bulat dalam munas di Bali: komitmen Partai Golkar mempertahankan pilkada dilakukan DPRD. Karena itu, di ujung munas di Bali, Aburizal merasa perlu menegaskan sikap Partai Golkar untuk tetap menolak Perppu No 1/2014.
Terakhir, begitu SBY menegaskan sikap PD untuk mendukung pilkada langsung ketika bertemu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kekuatan politik KMP harus memberikan respons secara tepat. Karena itu, sangat mungkin, demi menjaga posisi PD tetap berada dalam barisan KMP, sebagian parpol pendukung KMP siap mengambil posisi berbeda dengan Golkar. Bahkan, kuat dugaan, demi soliditas KMP, Aburizal terpaksa menjilat ludah sendiri.
Sekalipun sikap pendukung KMP harus jadi catatan khusus bagaimana parpol menggoreng dan mengombang-ambingkan daulat rakyat dalam pilkada, perubahan sikap untuk mendukung Perppu No 1/2014 tetap saja kabar gembira bagi kita semua. Dengan sikap itu, pemaknaan frasa ”dipilih secara demokratis” sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tetap berada dalam daulat rakyat.
Namun, secara obyektif, KMP akan mengalami kerugian besar jika menolak Perppu No 1/2014. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, nasib Perppu No 1/2014 sangat tergantung dari pembahasan di DPR. Sekiranya anggota DPR atau mayoritas anggota DPR menyetujui, Perppu No 1/2014 akan menjadi UU. Apabila menolak, sangat mungkin terjadi kekosongan hukum dalam pengisian kepala daerah.
Kemungkinan terjadi kekosongan hukum karena ada ketentuan Pasal 52 Ayat (6) dan (7) UU No 12/2011. Berdasarkan ketentuan itu, dalam hal perppu ditolak, DPR atau presiden mengajukan RUU tentang pencabutan perppu dan akibat hukum pencabutan perppu. Dengan adanya keharusan itu, perbedaan antara presiden dan DPR kemungkinan tetap terjadi. Titik perbedaan yang amat krusial menyangkut posisi UU No 22/2014 yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Perppu No 1/2014. Bagaimanapun hampir dapat dipastikan presiden akan menolak pemberlakuan kembali UU No 22/2014.
Sekiranya kekosongan hukum benar-benar terjadi, pemilihan untuk mengisi sekitar 200 kepala daerah yang akan habis masa jabatan pada 2015 tak bisa dilakukan. Dengan terjadi kekosongan itu, semua posisi yang habis masa jabatannya itu akan ditentukan oleh pemerintah pusat. Artinya, jika menggunakan argumentasi obyektif, menolak Perppu No 1/2014 sama saja membiarkan pemerintah Jokowi-JK menentukan semua kepala daerah yang akan habis pada 2015.
Revisi terbatas
Dengan dukungan hampir semua kekuatan politik, diharapkan proses persetujuan Perppu No 1/2014 tidak melewati jalan berliku. Sekalipun pembahasannya menyerupai proses pembahasan RUU biasa, pembentuk UU tak dapat melakukan perubahan terhadap substansi perppu. Memakai logika Pasal 22 UUD 1945, yang bisa diperdebatkan hanya kebenaran alasan subyektif presiden menerbitkan perppu.
Karena tak terbuka ruang untuk memperdebatkan substansi Perppu No 1/2014 dan mayoritas parpol akan mendukung, seharusnya pembahasan berlangsung cepat dan singkat. Bilamana bisa berlangsung lebih cepat, kita masih punya waktu melakukan beberapa revisi terhadap materi UU dari Perppu No 1/2014 yang dianggap masih perlu perbaikan.
Salah satu isu yang dirasa perlu diperbaiki ihwal penyelesaian sengketa pemilihan (electoral dispute resolution). Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan tak berwenang lagi menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, pembentuk UU mengembalikan penyelesaian ke Mahkamah Agung. Padahal, dalam desain electoral dispute resolution, pengadilan hanya salah satu jalan menyelesaikan perselisihan pemilu. Di Thailand, misalnya, komisi pemilihan umum memiliki wewenang menyelesaikan sengketa tertentu, termasuk mendiskualifikasi calon yang melanggar.
Isu lain menyangkut uji publik terhadap calon kepala daerah yang diajukan parpol. Gagasan ini menarik, tetapi akan jauh lebih bermakna jika parpol yang dipaksa melakukan proses penentuan calon yang terbuka dan transparan. Misalnya, cara yang paling mungkin dilakukan adalah semacam konvensi di internal parpol. Langkah ini perlu dilakukan agar calon tidak lahir melalui proses oligarki parpol. Kalau gagasan ini hendak direalisasaikan, parpol yang tak melakukan proses terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan calonnya oleh Komisi Pemilihan Umum.
Dengan terbukanya ruang melakukan revisi terbatas setelah menjadi UU, kabar gembira bagi kita tidak hanya sebatas lolosnya Perppu No 1/2014 dari hadangan DPR, tetapi juga menunggu kabar gembira berikutnya demi menghadirkan pemilihan kepala daerah yang berkualitas.