Mentalitas lain yang dibiarkan hidup dan tumbuh subur adalah mencari keselamatan diri dengan melepaskan prinsip baik dan benar. Tata nilai yang benar dikorbankan demi keselamatan diri. Nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dikalahkan demi kepentingan tertentu sehingga memupuk sikap oportunistis dan pragmatis. Tidak mengherankan banyak orang bersikap mencla-mencle; esuk dele, sore tempe (pagi dele, sore tempe), kata pepatah Jawa.
Ubah mentalitas
Promosi media massa secara agresif, masif, dan meluas, dengan prinsip mendulang untung sebesar-besarnya, harus diubah. Masyarakat tanpa sadar telah ”digiring” menganut tatanan nilai tertentu, khususnya menempatkan nilai kenikmatan indrawi dan kenyamanan sebagai yang utama.
Parahnya, kenikmatan dan kenyamanan itu mesti dibeli sehingga uang diutamakan, bahkan menjadi penguasa.
Akibatnya, dunia seakan arena perburuan dan perebutan uang dengan cara apa pun: menipu, mencuri, merampok, dan khususnya korupsi. Tindakan tersebut berangkat dari tata nilai yang telah terjungkirbalikkan.
Media massa yang berkontribusi penting perlu berubah mentalitas dari kecenderungan berorientasi bisnis ke pengutamaan pendidikan nilai luhur kemanusiaan. Perubahan mentalitas secara revolusioner itu membutuhkan proses panjang, kerja keras, dan wujud nyata berupa tindakan yang konsisten. Tanpa itu, yang akan terjadi hanya gebrakan sesaat, tidak akan membawa banyak perubahan.
Perubahan membangun sikap baru itu berat karena bagai berbalik arah 180 derajat. Tidak semua pihak setuju dan mendukung gerakan itu. Maka diperlukan sikap sabar, tahan banting dan sekaligus optimistis. Selamat Natal!
*Uskup Tanjung Selor