Oleh: Said Salahuddin, Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (SIGMA)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana anggota DPR dari sejumlah fraksi menggulirkan hak angket terhadap Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly, terkait keputusannya menyelesaikan kepengurusan PPP dan Partai Golkar, dapat saja dipandang sebagai komitmen dari wakil rakyat untuk menjalankan amanat konstitusi.
Pasal 20A UUD 1945 telah menetapkan DPR memiliki tiga fungsi, di antaranya fungsi pengawasan yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Jadi apabila DPR bermaksud menggunakan salah satu haknya itu, maka pastilah hak tersebut digunakan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah.
Artinya, jika ada kebijakan pemerintah yang dinilai bermasalah oleh DPR, apalagi permasalahan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas dalam kehidupan bernegara, maka penggunaan hak interpelasi dan hak angket oleh DPR, misalnya, memang sudah seharusnya dilakukan agar DPR tidak dikatakan 'impoten'.
Di balik keputusan Menkumham pada kasus PPP dan Golkar, mengandung persoalan yang tergolong penting, strategis, dan berdampak luas dalam kehidupan bernegara karena bertalian dengan prospek kehidupan berdemokrasi kita.
Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada perkara PPP, misalnya, tegas disebutkan bahwa pemerintah terbukti mengintervensi persoalan internal partai tersebut. Jika pemerintah sudah berani mengintervensi partai politik, artinya sudah gawat. Demokrasi kita berada dalam ancaman. Ini jelas persoalan serius.
Saya menilai tepat pengguliran hak angket oleh DPR terkait kebijakan Menkumham. Ada yang bertanya, apakah hak angket bisa diajukan terhadap menteri? Jawabnya bisa saja. Sebab yang disebut pemerintah adalah Presiden beserta para menteri. Artinya menteri adalah bagian dari pemerintah.
Jadi bisa saja DPR memeriksa Menkumham melalui suatu proses penyelidikan guna menemukan ada-tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh menteri dalam melaksanaan Undang-Undang Partai Politik melalui penggunaan hak angket itu. Di sini nanti bisa diketahui apakah intervensi pemerintah dalam kasus PPP, misalnya, merupakan instruksi atau sekurang-kurangnya atas sepengetahuan Presiden, ataukah intervensi itu dirancang sendiri oleh Menkumham atas pesanan kelompok politik tertentu.
Saya ingin menekankan sekaligus berharap agar pengguliran hak angket dimkasud jangan hanya menjadi alat bargaining partai-partai pengusung angket kepada pemerintah, apalagi sekadar untuk gertak sambal saja, seperti pada wacana hak interpelasi BBM (bahan bakar minyak) yang tempo hari keras disuarakan oleh DPR namun akhirnya hilang begitu saja.