Oleh: Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma), Said Salahudin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang KPK sebetulnya belum mendesak untuk direvisi. Namun dalam hal pemegang kekuasaan membentuk undang-undang berketetapan untuk mengubahnya, maka revisi harus memperhatikan dua prinsip penting.
Pertama, materi muatan undang-undang yang hendak direvisi harus dipastikan terbatas pada pasal-pasal yang memang perlu penyesuaian berdasarkan kebutuhan. Kedua, penambahan, pengurangan, dan perbaikan norma dalam UU KPK harus dipastikan tidak mengandung unsur pelemahan terhadap lembaga tersebut.
Berangkat dari dua prinsip itu, maka tidak semua materi revisi usulan DPR harus diakomodir. Secara gagasan, beberapa materi yang diusulkan untuk direvisi sebetulnya cukup bagus, tetapi saya kira lebih banyak yang tidak tepat.
Ada dua contoh usulan revisi yang dari sisi gagasan cukup baik. Pertama, usulan agar nilai kerugian negara yang menjadi domain KPK di-upgrade menjadi di atas Rp 50 miliar dari sebelumnya Rp 1 miliar. Usul ini terbilang masuk akal, sebab nilai Rp 1 miliar itu sebetulnya untuk ukuran tahun 2002, pada saat dibentuknya UU KPK.
Nah, untuk kondisi terkini, nilai kerugian negara Rp 1 miliar itu menurut saya terlalu kecil untuk ditangani lembaga superbody sekelas KPK. Semestinya KPK diserahi tugas untuk menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian negara diatas Rp 5 miliar, misalnya. Kalau di atas 50 miliar seperti yang diusulkan itu saya kira terlalu tinggi.
Kedua, usulan pembentukan Dewan Kehormatan (DK) KPK. Ide ini baik, tetapi secara konsep saya punya pandangan yang berbeda. Dari sisi keanggotaan, DK KPK lebih baik diisi seluruhnya dari unsur independen, tidak perlu menyertakan unsur pemerintah dan aparat penegak hukum seperti yang diusulkan. Ini penting agar DK KPK kelak bisa bertugas secara lebih bebas dan independen tanpa ada unsur konflik kepentingan.
Pengisian Anggota DK KPK bisa dilakukan dengan mekanisme dan waktu yang bersamaan dengan pengisian Komisioner KPK, yaitu diusulkan oleh Presiden melalui panitia seleksi dan dipilih oleh DPR. Jadi modelnya seperti pengisian anggota KPU dan Bawaslu.
Selain itu, DK KPK bersifat tetap dan diberikan kewenangan untuk aktif memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh komisioner dan pegawai KPK. Jadi seperti MKD di DPR, yang berwenang memproses kasus tanpa harus ada pengaduan, dan bukan seperti DKPP yang bersifat pasif memproses pelanggaran penyelenggara Pemilu.
Adapun contoh yang tidak tepat dari usulan revisi UU KPK adalah soal penerbitan SP3, misalnya. Menurut saya kewenangan itu tidak perlu diberikan kepada KPK, sebab saya justru khawatir dengan kewenangan itu komisioner dan pegawai KPK bisa terjerumus dalam praktik transaksional, seperti yang diduga terjadi di lembaga lain. Saya kira KPK harus dilindungi dari praktek haram semacam itu.
Apabila alasan memberikan kewenangan itu dalam rangka mengantisipasi kekeliruan yang mungkin dilakukan oleh KPK dalam penanganan suatu kasus, maka SP3 saya kira sudah bukan lagi menjadi satu-satunya solusi. Sebab sekarang sudah terbuka ruang koreksi apabila terjadi kekeliruan dalam proses hukum oleh KPK, yaitu melalui mekanisme Praperadilan, misalnya.
Usulan agar KPK harus mendapatkan izin dari Pengadilan sebelum melakukan penyadapan pun menurut saya tidak tepat. Usul ini bisa menurunkan derajat kasus korupsi dari kategori extraordinary crime menjadi varian lain dari kejahatan biasa. Korupsi itu kan kejahatan luar biasa yang penanganannya juga harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa.
Nah, kewenangan menyadap tanpa izin pengadilan adalah salah satu ciri penanganan kasus dengan cara yang luar biasa itu. Jadi, kalau KPK diharuskan meminta izin terlebih dahulu dari institusi lain sebelum melakukan penyadapan, maka ciri itu menjadi pudar dan kasus korupsi tidak tepat lagi digolongkan sebagai kasus kejahatan luar biasa. Akan sangat riskan jika orang yang hendak disadap oleh KPK adalah hakim yang menjadi kolega Ketua Pengadilan, misalnya.
Soal masa kerja lembaga KPK selama 12 tahun itu pun menurut saya tidak tepat. KPK itu harus dianggap sebagai lembaga permanen, kecuali UU KPK dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Istilah ad hoc yang berkembang selama ini kan hanya tafsir saja, bukan ketentuan norma undang-undang. Jadi tidak tepat jika lembaga negara ditarget-targetkan masa hidupnya.
Soal pembentukan Dewan Eksekutif KPK saya kira juga tidak perlu. Selain tidak ada urgensinya, juga sudah ada organ Penasehat KPK dan DK KPK apabila jadi dibentuk. Tidak perlu terlalu banyak organ dalam kelembagaan KPK.
Jadi saya mau ingatkan kepada pembentuk UU, khususnya kepada Presiden yang menjadi inisiator awal revisi UU KPK agar jangan sampai revisi UU KPK menjadi kebablasan. Setiap ruang yang berpotensi menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang ingin melemahkan KPK harus ditutup.
Agenda revisi UU KPK jangan sampai menjadi bola liar yang dapat dijadikan sebagai momentum oleh pihak-pihak tertentu untuk mempreteli kewenangan dan membuat KPK menjadi lembaga difabel.