TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya secara resmi membuka lowongan mencari Tenaga Humas Pemerintah (THP) melalui situsnya.
Instansi ini akan menyelenggarakan seleksi untuk memilih THP sebanyak 100 orang yang akan dikontrak untuk Non PNS dan ditugaskan bagi PNS selama dua tahun untuk mendukung komunikasi publik bersama jajaran Kementerian Kabinet Kerja.
Pembukaan lowongan ini merupakan wujud dari pemikiran Menkominfo Rudiantara beberapa waktu lalu yang berencana menggunakan jasa Public Relations (PR) profesional untuk membantu pemerintah, dalam hal ini Kementerian dan Lembaga Negara guna berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat dan media.
Pria yang akrab disapa RA ini menilai keberadaan pranata humas yang ada sekarang jumlahnya sudah berkurang banyak, dari 10 ribu ke 800, belum lagi kemampuan eksposure terhadap media komunikasi baru, seperti media sosial, terbatas. Singkatnya, dibutuhkan peningkatan kapasitas dengan cara pintas.
Sesuai dengan Inpres No 9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, memang ada kewajiban tiap Kementerian atau Lembaga memberikan laporan kepada Menkominfo tentang berbagai program dan kegiatan serta keberhasilan komunikasi publik.
Menkominfo dalam aturan itu memiliki wewenang melakukan analisis dalam bentuk narasi tunggal yang dikeluarkan secara produk harian dan mingguan, untuk selanjutnya memberikan laporan kepada presiden setiap bulan tentang pengelolaan kominikasi publik tersebut.
Sepertinya, RA menilai Badan Koordinasi Humas-humas pemerintah (Bakohumas) belum maksimal berfungsi mengoordinasikan tugas-tugas kehumasan, apalagi di era digital media yang dinamikanya sangat cepat sehingga dibutuhkan suntikan dari luar untuk menjaga reputasi pemerintah.
Sejumlah Pertanyaan
Kebijakan ini terus terang menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak saya.
Pertama, apakah ketika kebijakan ini diambil sudah ada audit komunikasi terhadap strategi PR dari setiap Kementerian atau Lembaga sehingga muncul wacana perlunya rekrutmen tenaga “profesional” yang tak murah ini.
Bayangkan, jika yang masuk Non PNS semua, hanya untuk kompensasi disediakan dana sekitar Rp 48 miliar selama dua tahun.
Tanpa ada audit komunikasi yang terukur, lantas bagaimana nantinya menilai tenaga “profesional” ini mencapai target komunikasi yang dibebani jika tak ada pembanding dengan hasil sebelumnya?
Kedua, payung hukum dari perekrutan tenaga “profesional” ini belum jelas karena sejauh ini tak ada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) atau Kepmenkominfo terkait 100 tenaga profesional di bidang PR.
Sejauh ini informasi yang didapat adanya Kepmenkominfo Tentang Pembentukan Panita Seleksi (Pansel) untuk Tenaga Humas Pemerintah Kemenkominfo.
Jika Menkominfo menggunakan alasan Inpres No 9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, dalam enam instruksi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tak ada menyebut tentang isu perekrutan tenaga profesional.
Ada celah dalam instruksi ini yang bisa dimanfaatkan Menkominfo yakni dalam Poin ketiga nomor tujuh di Inpres No 9 tahun 2015 yang berbunyi dapat mengundang dan mengikutsertakan Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan atau pihak lain dalam merumuskan materi informasi yang akan dikomunikasikan kepada publik.
Tetapi, tanpa adanya aturan teknis yang jelas seperti dalam bentuk Permen atau Kepmen, RA seperti melupakan aturan birokrasi dan justru membuat celah masuknya audit keuangan dari Badan pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketiga, jika melihat persyaratan untuk masuk kategori "PR Profesional" dari Kemenkominfo memang lumayan ketat. Masalahnya, mungkinkah ada individu yang mau bekerja untuk masa dua tahun, setelah itu tak jelas masa depannya?
Secara posisi memang mentereng, karena “PR Profesional” ini setara dengan eselon II dan kabarnya akan selalu "embedded" dengan Menteri nantinya, agar pesan yang disampaikan ke publik terkawal.
Disini akan timbul permasalahan yakni sumber daya yang didapat bisa saja didominasi oleh pencari pekerjaan karena di PHK perusahaanya, dosen, atau PNS yang ingin promosi.
Di sektor swasta dengan persyaratan yang diminta oleh Kemenkominfo, biasanya seseorang dalam posisi General Manager atau Manager di bidang PR, relakah profesional meningggalkan kariernya hanya untuk mengabdi di pemerintahan selama dua tahun?
Para dosen mungkin potensial menduduki posisi ini karena bisa cuti dulu di luar tanggungan dan kembali lagi ke kampus setelah masa kontrak sebagai “PR Profesional” selesai. Hal yang sama juga terjadi dengan PNS, karena nantinya setelah masa penugasan selesai akan dikembalikan ke instansi lamanya.
Kalau begini, benarkah RA akan mendapatkan PR yang benar-benar Profesional?
Terakhir, isu culture gap yang nantinya akan dialami oleh “PR Profesional” tak bisa dilupakan. Misalnya, di Kemenkominfo selama ini sudah ada Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian. Jabatan ini dipegang oleh eselon II dengan dukungan sekitar 40 personel.
Masuknya “PR Profesional” versi RA tentu akan membuat “goncangan” karena akan ada dua matahari di satu unit. Hal ini terkesan sepele, tetapi sebagai organisasi bisa merusak irama kerja.
Maksimalkan Kompetensi
Scott M Cutlip (2000) dalam Effective Public Relations menyatakan PR adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi perilaku publik, mengidentifikasi kebijakan yang bersinggungan dengan kepentingan publik, dan membuat perencanaan serta mengeksekusinya untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan dari publik.
Cutlip menyatakan di bukunya, banyak orang mencampuradukkan antara peran seorang PR dengan aktivitas pekerjaannya. Hal yang saya khawatirkan dari pemikiran RA terkait kebutuhan PR Profesional ini adalah seperti yang dipaparkan Cutlip.
Banyak pejabat menyalahkan peran PR tak maksimal kala reputasinya di publik menurun, padahal, skenario pencitraan sudah dirasa maksimal.
Tanpa audit komunikasi yang bisa dipertanggungjawabkan, rasanya tak wajar jika penurunan reputasi hanya disalahkan ke pekerjaan PR.
Seorang Praktisi PR terkemuka, James E. Grunig menyatakan PR biasanya tidak mempunyai kebebasan untuk bertindak sebagai seorang profesional kecuali dia duduk sebagai bagian dari koalisi yang dominan.
Jika unit PR menjadi bagian koalisi yang dominan, mereka mempunyai wewenang untuk memasukkan unsur tanggungjawab sosial, pemahamanan publik atau komunikasi dua arah. Hanya dengan cara ini akan lebih mudah kontribusi PR terhadap efektivitas organisasi.
Lebih jauh lagi, jika tujuan PR dimasukkan menjadi tujuan organisasi, eksekutif PR duduk sebagai koalisi yang dominan.
Sasaran program PR akan lebih dapat diadaptasikan jika eksekutif PR merupakan koalisi yang domainan dalam organisasi, Sebaliknya jika eksekutif PR tidak duduk dalam koalisi dominan, akan sulit untuk menentukan fungsi PR, betapun pelaksana PR berusaha untuk memenuhui tujuan komunikasinya.
Nah, pertanyaan saya, sudahkah petinggi-petinggi negara ini menempatkan pekerja PR di lembaganya dalam posisi koalisi dominan? Benarkah nantinya 100 profesional yang direkrut ini dalam koalisi dominan di semua kementerian?
Hal yang tak saya habis pikir adalah kenapa Kemenkominfo tidak memilih jalan menerapkan reward and punishment dengan menetapkan Key Performance Indicator (KPI) bagi setiap Humas di Kementerian atau Lembaga setelah adanya audit komunikasi di setiap Kementerian.
Jika langkah ini yang diambil, Kemenkominfo cukup memberikan guideline tanpa harus terjun sampai terlalu teknis dan masuk ke dapur masing-masing kementrian dengan menempatkan 100 tenaga "profesional".
Ditambah dengan menggandeng kampus, organisasi Kehumasan, bahkan jika perlu datangkan Praktisi PR Internasional untuk meningkatkan skill personal, rasanya posisi Kemenkominfo lebih rancak dalam meningkatkan kompetensi PR pemerintah ketimbang beraksi di jalan pintas yang tak jelas ujungnya.
Penulis:
Doni Ismanto Darwin
Alumnus MM Komunikasi Universitas Trisakti dan aktif di komunitas IndoTelko Forum serta Indonesia Digital Society Forum