Ditulis oleh : BPKN
TRIBUNNERS - Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI (BPKN RI), David Tobing menyesalkan keluarnya surat menteri perhubungan yang melarang keberadaan ojek sebagai angkutan umum karena terlalu prematur.
Seharusnya sebelum adanya pengaturan lebih lanjut tentang motor sebagai kendaraan umum dalam Undang-Undang, dicarikan solusi atas keberadaan ojek yg sudah berlangsung sejak lama dan menjadi ciri khas transportasi di Indonesia.
Konsumen menjadikan ojek sebagai alternatif utama pengganti kendaraan umum yang dirasakan belum dapat memenuhi tuntutan masyarakat bahkan sejak adanya kerjasama pengojek dengan perusahaan penyelenggara jaringan makin banyak konsumen yang meminati dan sangat terbantu dengan transportasi ini.
Sebenarnya kendaraan angkutan ojek sudah diklasifikasikan dan diakui sebagai lapangan usaha berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 dalam lampiran nomor 49424 yang mengatur perihal Angkutan Ojek Motor.
Diuraikan lebih lanjut bahwa kelompok ini mencakup usaha pengangkutan penumpang dengan kendaraan bermotor roda dua seperti ojek sepeda motor.
Untuk itu, dalam merespon dinamika isu perlindungan konsumen tersebut BPKN RI sudah merampungkan
kajian dan Focus Group Disccusion (FGD) tentang transportasi berbasis online dengan mengundang seluruh
stakeholders. Antara lain Ketua Indonesia Telecomunication Users Group (IDTUG), Plt Sekjen Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI),
termasuk perwakilan dari Kementerian Perhubungan pada tanggal 22 Oktober 2015.
Kegiatan itu dihadiri oleh perserta dari barbagai pewakilan antara lain Dit Pemberdayaan Konsumen Kementerian Perdagangan, Dit Keamanan Informasi, Kemenkominfo, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Ketua Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Dit Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dan beberapa pelaku usaha jasa angkuran berbasis daring, seperti UBER.
Berdasarkan hasil tersebut, menjadi pokok-pokok dengan mengeluarkan saran dan rekomendasi kepada pemerintah tentang keberadaan transportasi tersebut.
“David Tobing berharap seluruh stakeholders termasuk kepolisian tidak gegabah dalam melakukan tindakan
mengingat banyak sekali pekerja yang menjalankan lapangan usaha kendaraan angkutan ojek ini untuk mencari
nafkah dan dilain pihak banyak sekali masyarakat atau konsumen yang membutuhkannya di tengah-tengah
carut marutnya angkutan umum saat ini. Pelarangan tersebut berpotensi adanya pelanggaran hak asasi
manusia (HAM)."
"Jika pelaku usaha transportasi yang dilarang ini belum atau tidak membayar pajak, justru di
sinilah pentingnya peran Pemerintah melakukan pembinaan. Jika dibina dengan benar dan bebas dari
pungutan-pungutan liar, mereka juga berpotensi sebagai pembayar pajak," lanjutnya.