SISTEM presidensial tidak murni yang dianut oleh Republik Indonesia menyebabkan setiap langkah presiden dalam menjalankan berbagai kebijakan pemerintahan menimbulkan kegaduhan, termasuk dalam soal reshuffle.
Meskipun hak prerogratif itu melekat pada presiden, faktanya kecemasan dukungan politik dari parlemen selalu menjadi variabel utama dalam menyusun dan merombak kabinet.
Hak prerogratif itu tersandera oleh sistem ketatanegaraan.
Kondisi ini dapat dilihat secara jelas misalnya pada perubahan istilah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadi Parpol-Parpol Pendukung Pemerintah (P4).
P4 telah mengafirmasi bahwa hak prerogratif dan kewenangan presiden yang melekat dalam sistem presidensial menjadi bias dan terreduksi.
Apalagi menyimak PPP, PAN, PKS, dan terakhir Golkar, yang kemudian berencana mendukung pemerintah.
Buruknya, dukungan itu bukan tanpa syarat, tapi dibarengi tawar menawar jabatan.
Inilah yang membuat prosentase pengabdian partai-partai pada kepentingan partai jauh melampaui kepentingan mengabdi pada rakyat.
Jokowi dengan tingkat dukungan publik yang cukup tinggi, semestinya bisa mengabaikan setiap tawaran dukungan politik yang menuntut balas budi yang melukai rakyat.
Tidak perlu cemas dengan dukungan parlemen, karena rasionalitas politik dan kebijakan yang berpihak pada rakyat bisa mengalahkan kekuatan oligarki yang bercokol pada partai-partai politik.
Basis argumentasi perombakan kabinet adalah kinerja, integritas, dan kepemimpinan.
Siapapun menteri yang lemah pada tiga variabel utama itu, maka layak diganti.
Sebagai contoh, Jaksa Agung misalnya, yang integritasnya tercoreng dan kinerjanya buruk maka layak diganti.
Demikian juga Menkum HAM, dan beberapa menteri ekonomi dan pembangunan manusia.
Penulis: Hendardi, Ketua Setara Institute