Ditulis oleh : Benny Sabdo
TRIBUNNERS - Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) mengatakan tahun 2016 sebagai tahun pembuktian bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam bidang ekonomi.
ISKA melihat paket deregulasi yang dikeluarkan pemerintah cukup baik meski dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Menurut Ketua PP ISKA, Muliawan Margadana, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang langsung terkait dengan aspek komersial dan jangka pendek sehingga dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh dunia industri.
Muliawan menambahkan saat ini kondisi sudah semakin kritis di hampir semua lini industri. Ia menjabarkan, sektor komoditas yang selama ini menjadi andalan pemasukan negara sedang mengalami masa yang sangat sulit.
Untuk itu, pemerintah harus berani untuk membantu sektor tersebut.
"Mengingat sektor riil komoditas adalah salah satu keunggulan Indonesia dibanding beberapa negara lain," ujar Muliawan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Agung Pambudhi memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,5% tahun 2016. Inflasi diharapkan berada di kisaran 3-5%, dan nilai tukar terhadap USD di Rp 13.500.
"Hal tersebut didasari perkembangan ekonomi global maupun reformasi ekonomi dalam negeri yang memang ada perbaikan namun belum kuat perbaikannya," ujarnya dalam Focus Group Discussion ISKA tentang Prospek Ekonomi 2016.
Terkait Masyarakat Ekonomi Asean, Agung mengatakan bahwa kekhawatiran terjadinyna serbuan tenaga kerja terampil di tahun 2016 hanyalah kekhawatiran semu.
Menurutnya, Mutual Recognition Arrangement (MRA) atas delapan bidang profesi masih harus dilengkapi sejumlah tahap teknis lanjutan, juga bukan merupakan kebebasan untuk bekerja, melainkan merupakan pengakuan kesamaan kualifikasi pendidikan keterampilan.
"Persoalannya adalah keseriusan pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki kualitas kebijakan maupun konsistensi implementasinya," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Kementerian BUMN ,Aloysius Kiik Ro mengatakan Indonesia memiliki potensi bonus demografi yang lebih dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN.
Namun untuk mencapai potensinya tersebut Indonesia memiliki tantangan. Tantangan tersebut menurutnya adalah pembangunan yang belum merata serta masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Selain itu adalah tingginya ketergantungan terhadap impor energi dan pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
"Lemahnya daya saing infrastruktur dan manufaktur, ketergantungan terhadap impor material cost," ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, ekonom Agustinus Y Silalahi, mengkritisi kinerja BUMN yang justru lebih banyak meminta subsidi dari APBN.
Menurutnya, BUMN itu seharusnya memberikan sumbangan bagi APBN, bukan justru mengambil jatah dari kue APBN. Selain itu, ia mendorong kinerja kementerian BUMN harus lebih profesional dan efisien.
"Sayangnya kementerian BUMN saat ini lebih banyak mengakomodasi kelompok relawan Jokowi sebagai komisaris di beberapa BUMN, meski diragukan kompetensi mereka," kata Agus.
Pengamat Hukum Tata Negara, Benny Sabdo, menegaskan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi, pemerintah harus memperhatikan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
"UUD 1945 tidak semata-mata merupakan konstitusi politik, tetapi juga merupakan konstitusi ekonomi," jelasnya.
Menurutnya, hal itu tercermin dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yang memuat ketentuan-ketentuan dasar di bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
"Pemerintah harus adil dalam mengatur hubungan ‘trias politika’ baru di era globalisasi, yaitu antara negara, masyarakat, dan pasar. Jangan sampai dominasi pasar mengalahkan negara dan masyarakat," katanya.