Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Pasca serangan teroris di Jalan Thamrin, 14 Januari yang lalu, mencuat wacana untuk merevisi UU No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Wacana revisi muncul karena UU yang ada dipandang tak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
Dalam UU tersebut, tak ada pasal khusus untuk menindak pelaku pelatihan dan pengiriman dana terduga terorisme.
Selain itu, tak ada juga pasal mengenai sanksi terhadap WNI yang bergabung dengan ISIS.
Padahal faktanya, para simpatisan ISIS itu sangat potensial menyebarkan radikalisme ketika kembali ke Indonesia.
Persoalan-persoalan itu sangat penting untuk segera diatur, mengingat potensi ancamannya yang sangat besar terhadap keamanan nasional.
Apalagi, otak pelaku bom Sarinah, Bahrun Naim, dipastikan sebagai simpatisan yang telah bergabung ISIS.
Mantan Asisten Operasional Panglima TNI, Supiadin berpendapat bahwa revisi UU No 15 tahun 2003 bukan satu-satunya opsi untuk menangkal dan memberangus teroris di Indonesia.
Menurutnya, terdapat metode lain yang bisa dijalankan bersama baik di tataran pemerintah pusat atau pemerintah daerah berikut elemen penunjangnya.
Cara ini menurutnya tak butuh waktu panjang, seperti halnya revisi UU terorisme yang harus melalui proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), memanggil stake holder, dan rangkaian Rapat Dengar Pendapat (RDP).
“(Revisi UU) Itu membutuhkan waktu lama, tidak cukup satu dua bulan. Nah, sekarang yang harus segera dilakukan yaitu melibatkan pemerintah daerah tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Dan yang paling utama, perankan Babinsa, koramil, Polsek untuk mendeteksi. Kan, bom itu tidak dibikin di laut, tapi di lingkungan masayrakat," katanya, Selasa (19/01/2016).
Anggota Komisi I DPR RI ini juga menegaskan bahwa revisi Undang-undang apa pun, harus memperhatikan aspek ketelitian dengan melibatkan kajian komprehensif.
Bagi Supiadin, isu terorisme ini terkait berbagai aspek, yakni aspek ekonomi, politik, dan aspek ideologi. Dalam konteks ini, pemerintah mau pun DPR tak boleh gegabah memformulasikan sebuah kebijakan.