Ditulis oleh : Nur Cholish Hasan, Penggiat Kajian Koalisi Mahasiswa UIN (KMU)
TRIBUNNERS - Pesta Demokrasi yang tertuang dalam pilkada demi melahirkan nahkoda baru daerah telah usai.
Pilkada telah menetas satu pasangan untuk menunggangi masing-masing daerah otonom pada satu masa periode mendatang.
Namun, acapkali dalam event seperti ini tak heran banyak menimbulkan jejak yang tidak mengenakan salah satu pihak.
Demikian rentan hujatan menyorot dari berbagai sudut, dari berbagai arah hingga bahkan dari berbagai kalangan.
Melirik hal semacam ini seolah menjadi watak kedua yang biasa di sebut kebiasaan pada masyarakat Indonesia.
Ketidak puasan dalam menerima hal terbaik dari Tuhan menjadi ilat atau penyakit jiwa yang seharusnya di benahi sejak dini, sebelum membangun badan.
Tapi rupanya serangan-serangan nafsu manusia lebih awal membidik sasaran hati manusia.
Manusiawi memang, tapi alangkah indah ketika kaki terpijak dan melangkah pada skema Tuhan yang tepat. Eksistensi semacam ini yang sering di abaikan hingga esensinya menjadi tersisihkan.
Belajar dari sejarah, kini bukan menjadi acuan orientasi untuk betul-betul menjunjung tinggi kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam ketertiban dunia, yang menjadi tujuan serta telah termaktub dalam susunan UUD 1945.
Buktinya masih merajalela kemiskinan dan pengangguran yang sudah menjadi ikon masyarakat terpencil tanpa adanya perhatian lebih dari pemerintah.
Bagaimana bisa ikut serta dalam menertibkan dunia ? toh di wilayah sendiri serangan dalam maupun luar masih bebas menelisik cela-cela nusantara!
Pada saat ini, detik-detik menunggu harapan bangsa dari sumpah yang di jewantahkan oleh setiap kepala daerah terpilih, mau di bawa kemana ?
Akan di bentuk seperti apa daerahnya masing-masing. Tak sedikit kepala daerah periode sebelumnya unjuk gigi dan keluar menjadi nahkoda kembali. Maka mau tidak mau harus menjadi lebih baik bukan lagi saatnya bereksperimen.