Harga beras konsumen di Indonesia yang dikatakan “tinggi” bukan karena aspek produksi, tetapi akibat dari, kondisi sistem distribusi belum efisien, sistem logistik belum tertata, panjangnya rantai pasok tata niaga 7-10 step, asimetri informasi pasar, kondisi struktur, dan perilaku pasar belum bersaing sempurna dan lainnya.
Akibat dari kondisi tata niaga beras ini adalah, fakta terjadi disparitas harga antara di petani dan konsumen terlalu tinggi, terjadi anomali harga berfluktuasi dan cenderung naik, petani sebagai price taker dan pedagang sebagai price maker, profit marjin yang dinikmati petani terlalu kecil dan profit marjin pedagang terlalu besar, harga berfluktuasi dan cenderung naik, konsumen membeli dengan harga mahal.
Selanjutnya pakar berpendapat biaya produksi padi Indonesia belum efisien.
Untuk diketahui sesuai data BPS ARAM-II 2015 menyebutkan produktivitas padi Indonesia 5,28 ton/ha.
Hal ini menunjukkan petani Indonesia sudah mampu melakukan intensifikasi, menerapkan teknologi, benih unggul, pemupukan berimbang, mekanisasi, sehingga produktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand 3,13 ton/ha, India 3,66 ton/ha dan Malaysia 3,81 ton/ha.
Sebagai perbandingan income petani, data olahan dari IRRI 2014 menyebutkan keuntungan petani padi Indonesia Rp 14,6 juta/ha, China Rp 14,1 juta/ha, Philipina Rp 13,7 juta/ha, India Rp 8,2 juta/ha dan Vietnam Rp 7,9 juta/ha.
Kami menyarankan agar para pakar berhati-hati memberikan statemen, sebaiknya mencermati data sekunder, mencari data primer serta menelaah lebih mendalam.
Masyarakat menjadi resah akibat berita yang bombastistetapi tidak didukung fakta lapangan.
Kini bukan waktunya lagi mengomentari data, tetapi alangkah baiknya apabila kita secara bersama-sama fokus berpikir dan bekerja keras guna mewujudkan kedaulatan pangan sesuai amanat Nawacita.
Selalu optimis dan yakin bahwa tidak ada masalah sulit yang tidak dapat diselesaikan guna membela rakyat jelata dan petani kecil.