Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Meski seminar tentang pelurusan sejarah Sultan Hamid II sebagai perancang Lambang Garuda Pancasila adalah diskursus sejarah kebangsaan, tak dipungkiri wacana tersebut juga diwarnai pengalaman emosional.
Menurut Turiman Fachturahman Nur, seorang dosen yang melakukan kajian sejarah hukum terhadap kasus Sultan Hamid II, menyampaikan berbagai basil kajiannya.
"Satu hal yang Saya ketahui, dan menjadi beban berat hingga kini. Sebelum meninggal, Sultan Hamid berpesan, jangan ada Garuda Pancasila di rumah, sebelum perancangnya diakui,” tutur Turiman.
Baginya, wasiat terakhir itu menjadi beban berat selaku seorang akademisi. Wasiat itu juga bukan sekadar persoalan pribadi, tapi juga cerminan dari diskurus kebangsaaan yang sangat dalam yang dialami oleh sosok Sultan Hamid II.
Untunglah, wasiat tersebut tak memengaruhi keluarga Sultan Hamid II secara umum.
Hingga kini, keluarga Sultan menganggap dilema yang dialami Sultan Hamid II adalah bagian dari dialektika kebangsaan, bukan masalah pribadi atau golongan.
Syarif Abdullah Alkadrie, selaku cucu Sultan Hamid II menegaskan hal itu.
“Wacana tentang perancang lambang negara ini, didasari semangat kesadaran untuk meluruskan sejarah, bukan karena dasar emosional,” tegasnya.
Pakar Hukum Pidana Prof Andi Hamzah memperkuat argumen terkait status hukum Sultan Hamid II.
Menurutnya, tuduhan keterlibatan Sultan dalam pemberontakan Westerling sangatlah lemah dan cenderung tidak terbukti.
Oleh karenanya dia mengusulkan agar ahli waris Sultan Hamid mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan status terpidana Sultan Hamid II, tanpa batas waktu.
Hasil PK tersebut, menurut Andi, bisa ditujukan untuk menganulir status terpidaha Sultan Hamid II.
“Peninjauan Kembali itu menghasilkan putusan bahwa Sultan Hamid II divonis bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tidak bersalah,” kata Andi Hamzah.