Oleh: Alex Palit
Jumat (26/8) kemarin, saya ke TB Gramedia – Matraman, menemani anak cari buku, sekalian menghadiri undangan peluncuran dan bedah buku novel biografis “Mangun” (Romo Mangunwijaya), yang ditulis oleh Sergius Sutanto.
Kebetulan saya sendiri penyuka karya-karya Romo Mangun, dan buku “Burung-Burung Manyar”, “Ikan Duyung yang Mendamba”, dan “Sastra Religiositas” masih tersimpan.
Kebetulan saya sendiri belum baca novel biografis “Mangun”. Tapi paling tidak lewat novel biografis ini akan menjadi bacaan tersendiri bagi penyuka karya-karya Romo Mangun, untuk jauh lebih mengenal apa dan siapa sosok rohaniawan yang dikenal sebagai pembela kemanusiaan kaum miskin.
Di sini saya juga ingin berpanjang-panjang apa dan siapa serta sepak terjang Romo Mangun dengan segala aksi kemanusiaan, karena saya yakin banyak yang lebih tahu dan lebih mengenal daripada saya.
Di sini saya hanya ingin mengutip dari kutipan moderatornya yaitu Jaya Suprana, yang menyebutkan bahwa karya seni maha agung adalah kemanusiaan. Dan novel biografis yang ditulis oleh Sergius Sutanto ini juga bernilai sebagai karya seni humanisme.
Dari kutipan ucapan Jaya Suprana ini merupakan benang merah dari novel “Mangun”, membaca karya seni kemanusiaan Romo Mangun.
Pertanyaan kita sekarang, sepeninggal beliau, adakah Mangun, Mangun, Mangun yang lain, berjuang membela orang-orang pinggiran yang terpinggirkan oleh derap pembangunan maupun arogansi kekuasaan. Lagi-lagi saya mengutip ucapan Jaya Suprana,
“Yang harus digusur kemiskinan, bukan orang miskin digusur. Kutipan-kutipan itu yang saya catat dan menjadi catatan di peluncuran dan bedah buku “Mangun”.
Paling tidak dari novel “Mangun” ini kita lebih mengenal apa dan siapa sosok pejuang pemanusiaan manusia Kali Code dan penggusuran waduk Kedungombo, selain mengenal dari karya-karya dan tulisannya.
@ Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi) dan Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara.