News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kasus Ahok

KH. Ma'ruf Amin, Kehadiran sebagai Saksi, Olahan Isu dan Penghinaan

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua MUI KH Maruf Amin memasuki ruang sidang kasus penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama, Selasa (31/1/2017). KH Maruf Amin dimintai keterangan dalam kapasitas sebagai saksi di sidang yang digelar kedelapan kalinya ini.

3. Kita harus menghormati dan belajar dari KH. Ma'ruf Amin, beliau Rais Aam NU dan Ketua Umum MUI yang telah memberi contoh bagaimana cara menghormati hukum, bertanggung jawab. Beliau hadir ditemani oleh Waketum MUI yang juga mantan Ketua Umum IPNU Zainut Tauhid Saadi, Wakil Ketua Komisi Kumdang MUI Ihsan Abdullah (mantan penasihat hukum Gus Dur), dan saya. Sementara Sekjen MUI, tokoh Muhammadiyah Buya Anwar Abbas dan Wasekjen MUI yang juga Katib Suriyah PBNU Sholahudin al-Ayubi tertahan tdak bisa masuk.

Ini untuk menjawab opini dan pertanyaan di masyarakat yang menyayangkan kehadiran KH. Ma'ruf Amin di persidangan. Saya pun awalnya juga berpandangan serupa. Bahkan, saat saya diberitahu dan diminta mendampingi kiai untuk menjadi Saksi pada 31 Januari, saya sempat galau tingkat dewa. Komunikasi dengan kolega, baik via komunikasi personal maupun WAG juga menanyakan hal itu. Bahkan tidak jarang menyalahkan kami-kami, santri beliau.

C. Substansi Persaksian

Dalam posisi sebagai saksi terkait penerbitan Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI terkait pidato BTP, KH. Ma'ruf Amin menjelaskannya dengan tegas dan jelas. Hanya saja, muncul opini yang menyesatkan, yang banyak tidak terkait dengan substansi; misalnya soal tidak adanya tabayun, status rapat-rapat di MUI, hingga masalah kuorum. Bahkan, tim advokasi BTP mengeluarkan rilis yang menurut hemat saya, menyesatkan. Sebagai Sekretaris Komisi Fatwa MUI, bisa dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa KH. Ma'ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI benar tidak melihat video secara langsung dalam proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI. Tetapi bukan berarti proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan ditetapkan tanpa melihat video. Komisi Pengkajian MUI mendalami secara serius, mulai dari telaah video, transkrip hingga validasi ke Kepulauan Seribu. Proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan dengan melibatkan empat komisi di MUI.

2. Dalam Pendapat dan Sikap Keagamaan, MUI memang tidak fokus membahas makna QS. al-Maidah 51 dan tafsirnya, akan tetapi membahas dan mengkaji pernyataan BTP yang belakangan membikin gaduh masyarakat, apakah masuk kategori menghina Aquran dan ulama atau tidak, dalam perspektif agama Islam.

Dengan demikian, tabayun yang dilakukan adalah untuk memastikan apakah rekaman ucapan itu benar apa tidak, yaitu dengan konfirmasi pada pihak-pihak yang bisa dimintai penjelasan. Karenanya, tim MUI juga konfirmasi ke Kepulauan Seribu, untuk tabayun terkait benar tidaknya rekaman ucapan itu disampaikan oleh BTP.

Setelah memperoleh konfirmasi kebenarannya, maka tim pengkajian memberikan data ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam perspektif agama. MUI fokus pada teks, tidak mengejar niat, karena dalam menetapkannya, MUI berpegang pada yang tersurat. "Nahnu nahkumu bi al-zhawahir, Wallaahu yatawalla al-sarair"

3. Benar, bawa pada 9 Oktober 2016, MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran pada BTP, dan pada 11 Oktober 2016, MUI Pusat mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Keduanya tidak bertentangan, bahkan paralel. Surat MUI DKI juga ditembuskan ke MUI Pusat, yang juga dijadikan masukan dalam penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Ketua Umum dan Sekum MUI DKI juga menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.

Hal yang perlu dipahami, proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran. Dengan demikian, asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan Sikap dan Pandangan Keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa, sangat tidak beralasan. Prosesnya cukup lama dan serius dilakukan, dengan melibatkan empat komisi (Komisi Pengkajian, Komisi Fatwa, Komisi Hukum, dan Komisi Infokom). Pembahasan diawali dengan penelitian oleh Komisi Pengkajian, dilanjutkan ke Komisi Fatwa, Hukum dan Infokom. Setelah itu dibawa ke Rapat Pimpinan Harian, setelah itu dirumuskan sebagai hasil dari Rapat Pimpinan.

4. Ada yang mempertanyakan soal kuorum rapat. Perlu dijelaskan, bahwa dalam Pedoman MUI, rapat komisi fatwa dapat dilaksanakan jika sudah mencapai jumlah anggota yang dianggap memadai oleh pimpinan. Dengan demikian, kuorum tidak terkait dengan jumlah minimal kehadiran. Walau demikian, dalam rapat-rapat pembahasan, peserta rapat dari sisi jumlah, bahkan lebih banyak dari rapat-rapat Komisi Fatwa pada kasus yang lain.

Pada rapat Komisi Fatwa membahas kasus BTP itu, hadir Ketua MUI yang membidangi Fatwa, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Komisi Fatwa, Sekretais dan wakil-wakil Sekretaris Komisi Fatwa, dan puluhan anggota Komisi Fatwa. Bahkan hadir dalam rapat tersebut lima guru besar dari berbagai bidang: fikih, ushul fikih, hukum, dan tafsir. Hadir pula akademisi dari berbagai kampus: UIN Jakarta, UI, IIQ (Institut Ilmu Al-Qu'ran) Jakarta, Uniat (Universitas At-Tahiriyah) Jakarta, UAD, PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran), dan lain-lain. Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ. Mereka hadir dan ikut pembahasan.

D. Tuduhan Politisasi dan Berbohong

Di paruh kedua persidangan, situasi sudah tidak begitu kondusif, karena pertanyaan- pertanyaan sudah tidak mengarah pada substansi; tetapi sangat politis dan sepertinya sengaja untuk kepentingan panggung politik yang intimidatif.

Salah satu statemen BTP sebagai berikut l:

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini