MIRIP dengan kebanyakan kasus serupa di negara lain, pembunuhan yang dilakukan remaja berawal dari luapan emosi, dilakukan pada malam hari, dan menggunakan senjata tajam.
Ledakan emosi adalah faktor tipikal pada aksi-aksi kekerasan remaja.
Tapi tetap sulit ya menerima teori itu juga berlaku di Sekolah Taruna Nusantara.
Mungkinkah ada masalah menumpuk, sehingga sakit hati 'hanya' pemicu?
Nah, menjadi relevan pertanyaan tentang ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan psikis bagi remaja di sekolah.
Bagaimana perjalanan hidup tersangka/pelaku ke depan?
Jika dikenakan dakwaan pembunuhan berencana, maka secara normal ancaman hukumannya bisa berupa hukuman mati.
Tapi karena dia masih berusia anak-anak (belum 18 tahun), maka boleh jadi maksimal hanya penjara 10 tahun.
Itu risiko karena toh diversi (penyelesaian di luar persidangan) tidak mungkin dilakukan, mengingat ancaman hukuman yang lebih dari 7 tahun tersebut.
Baca: Gumpalan Sakit Hati Siswa SMA Taruna Nusantara yang Berujung Pembunuhan
Apa tujuan hukuman, termasuk pemenjaraan, terhadap anak? Melindungi masyarakat, merehabilitasi pelaku, dan mengintegrasikan pelaku ke masayarakat.
Bagaimana prospek keberhasilan rehabilitasi terhadap remaja yang melakukan pembunuhan (youth homicide offender)?
Dengan rehab yang maksimal, potensinya positif. Itu berarti, kemungkinan remaja menjadi residivis bisa ditekan.
Baca: Krisna Dibunuh Temannya saat Tertidur Pulas, Tubuhnya Ditindih, Lehernya Ditikam
Apakah potensi itu juga ada pada tersangka/pelaku kasus Sekolah Taruna Nusantara?
Tampaknya ya, karena dia anak cerdas dan mempunyai pemahaman akan benar-salah. Empatinya sepertinya tetap ada. Itu ditunjukkan saat dia--seperti pemberitaan media--mengucapkan "maaf" sebelum beraksi.
Penulis: Reza Indragiri Amriel
Kabid Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia