TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lahir dan besar di Singapura, koresponden Senior Channel NewsAsia ini berbicara tentang pertaliannya dengan Indonesia: nenek moyang Indonesianya, kemampuannya berbahasa Indonesia, serta mengapa negara kepulauan terbesar ini memiliki tempat spesial di hatinya.
Sujadi Siswo bukan wajah baru di dunia jurnalistik.
Mantan Kepala Biro Indonesia ini dikenal karena peran pentingnya dalam memberikan liputan mendalam dalam hal politik dan nasional, dari Sabang sampai Merauke.
Di antara banyak penugasannya, yang paling berkesan selama bertugas di Indonesia termasuk, antara lain, liputan bom Bali pada bulan Oktober 2005, gempa bumi di Jawa Tengah pada bulan Mei 2006, serta berbagai peristiwa politik selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sujadi telah mengunjungi hampir seluruh nusantara dalam menjalankan tugasnya melaporkan berbagai macam berita.
“Benar-benar melelahkan, belum lagi bermacam kemunduran yang saya hadapi di lapangan, tapi masa saya di Indonesia adalah salah satu yang paling mengesankan,” katanya di Jakarta belum lama ini.
Sejalan dengan itu, kepiawaian Sujadi dalam hal melaporkan berita tentang Indonesia menandai tonggak penting dalam karirnya, saat dinobatkan menjadi “Journalist of the Year” pada tahun 2010 oleh Media Corp.
Selama bertugas sebagai Kepala Biro Indonesia, dari tahun 2005 hingga 2015, Sujadi membagi waktunya antara Singapura dan Jakarta sebagai koresponden berita untuk CNA, perusahaan pertama tempat Sujadi memulai karir jurnalistiknya.
Pertamakali bergabung dengan Media Corp sebagai, Sujadi menjadi presenter berita sesaat sebelum lulus dari National University of Singapore pada tahun 1989.
Saat itu, dirinya bertugas untuk menggarap berita tentang komunitas Melayu dan Muslim lokal untuk siaran berita berbahasa Melayu dan juga bahasa Inggris.
"Kemudian, saya mulai bepergian ke negara-negara Asia untuk melaporkan perkembangan politik di berbagai daerah. Saya sudah meliput Indonesia sejak tahun 1999,” katanya.
Penugasan lain Sujadi yang cukup penting termasuk perannya sebagai komentator untuk berbagai acara nasional resmi di Singapura, seperti Parade Hari Nasional, Pemilihan Umum dan Upacara Penobatan Kabinet Singapura.
Ia juga turun lapangan untuk melaporkan runtuhnya Kondominium Highland Towers di Kuala Lumpur serta Pemilu di Kelantan, juga tentang perkembangan politik di provinsi Yala, Pattani dan Narathiwat yang bergejolak.
Nama Jawa-nya serta penampilan fisiknya menyebabkan banyak orang yang menyangka ia orang Indonesia.