Oleh: Alex Palit
Kalau sebelumnya saya banyak menulis hura-hura dinamika politik yang sedang marak, kali ini saya tidak ingin ngaji politik apalagi yang sarat dipenuhi tontonan akrobatika anomali politik.
Di sini saya ingin menyampaikan semua itu dalam bahasa ngaji deling, membaca bambu – membaca bahasa tanda – mengungkap makna, apa dan siapa, dan apa ayat atau pesan yang tersirat di balik bambu unik bernama ruas lilit sambung rasa tali asih selendang mukti.
Kenapa harus pakai ngaji deling? Oleh leluhur nenek moyang kita, ngaji deling ini dijadikan sebagai sarana ajaran adiluhung budi pekerti.
Sebagaimana oleh leluhur nenek moyang, keunikan bambu unik ruas lilit sambung rasa tali asih selendang mukti yang terbentuk secara alami ini dijadikan sebagai sarana ajaran budi pekerti untuk mengingatkan kepada kita sebagai anak cucunya tentang sambung rasa tali asih kendati itu diambil dari sepotong bambu.
Dikatakan, di mana kita sebagai makhluk Tuhan tidak hanya menyambung rasa, menyambung rasa sejati kita kepada Sang Pencipta. Sebagai sesama makhluk ciptaanNya, kita pun harus menyambung rasa, menyambung rasa fitrah sejatinya kita sebagai makhluk sosial untuk menemukan mukti, kemuliaan kita sebagai sesama makhluk Tuhan dihadapanNya.
Dalam falsafah bangsa Indonesia yang dalam bahasa Jawa-nya dikatakan ‘ora ono kamulyan tanpo seduluran’, manusia tidak akan menemukan kemuliaanya tanpa rasa persaudaraan.
Buat bangsa Indonesia, filosofi ajaran budi pekerti leluhur nenek moyang kita ini sangat mulia dan manusiawi.
Saya tidak tahu, apakah bangsa lain juga memiliki falsafah ini. Dan saya juga tidak tahu, apakah orang-orang keturunan bangsa lain yang kini hidup di bumi Nusantara ini mengenal falsafah adiluhung leluhur nenek moyang kita. Tapi paling tidak ada pepatah mengatakan; di mana kita berdiri, di situ langit dijunjung.
Di tengah terjadinya krisis multidimensional yang salah satunya ditandai oleh tontonan akrobatika anomali politik yang kini sedang melanda negeri ini.
Di mana semua ini lantaran kegagalan-pahaman kita dalam memahami sebuah persoalan di tengah kehidupan sebagai bangsa pluralis bersemboyankan bhinneka tunggal ika
Setidaknya ayat atau pesan yang disampaikan lewat bahasa tanda dari sepotong bambu ruas lilit sambung rasa tali asih selendang mukti ini menjadi ajaran budi pekerti yang mulia, yang harus kita genggang sebagai falsafah hidup bangsa kalau mengaku dirinya berbangsa satu, bangsa Indonesia, begitu butir mutiara Sumpah Pemuda.
Matursuwun Mas Aries Budiyono atas pemberian bambunya, dan Umi Badriyah, pengaji deling Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN) atas wedarannya yang super jos, semoga menjadi pengingat bagi kita dan anak cucu kita untuk senantiasa menjaga kelestarian ajaran adiluhung leluhur nenek moyang.
Karena sesungguhnya hanya dengan tali asihlah kita mampu menyentuh dzat Alloh. Dan sambung rasa tali asih selendang mukti adalah sarana kita mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan menjalin tali persaudaraan sesama manusia dan makhluk lain.
‘Ora ono kamulyan tanpa seduluran’, manusia tidak akan menemukan kemuliaanya tanpa tali asih persaudaraan. Itulah pesan cinta kasih dari sepotong bambu unik alami bernama ruas lilit sambung rasa tali asih selendang mukti.
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, penyuka bambu unik, pengaji deling Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), Pemimpin Redaksi Bambuunik.com