BULLY (perundungan) di sekolah bukan hal sepele. Saking seriusnya, sampai ada yang melakukan bullycide (suicide atau bunuh diri yang diakibatkan oleh penderitaan tak tertahankan akibat menjadi korban bully).
Siapa yang rentan menjadi korban bully di sekolah/kampus?
Siswa dengan prestasi terendah, siswa dengan prestasi tertinggi, siswa junior, siswa dengan disabilitas, siswa dengan kondisi fisik maupun psikis berbeda.
Alhasil, kendati kita dukung sepenuhnya sistem pendidikan inklusi, namun sebetulnya memang tidak mudah bagi sekolah/kampus ketika memutuskan menerima siswa dengan kondisi disabilitas.
Butuh kesiapan SDM, sarana, prasarana, dan aturan main yang suportif terhadap siswa dengan disabilitas.
Penerimaan terhadap siswa dengan disabilitas harus mengendap sebagai mindset seluruh warga sekolah/kampus, begitu azas fundamentalnya.
Dari perspektif itu pula kasus bully di kampus (yang viral di medsos) sepatutnya ditangani.
Artinya, disamping pertanggungjawaban individual yang harus dibebankan kepada siswa pelaku bully, lembaga pendidikan seyogianya tidak berlepas tangan.
Inilah momentum pematangan sistem akreditasi sekolah/kampus. Takar ulang dan lebih serius kesiapan sekolah/kampus menerima siswa dengan disabilitas sesuai alinea di atas.
Ini pula manifestasi kepedulian atau perlindungan khusus bagi ana-anak, sebagaimana isi UU Perlindungan Anak.
Sementara itu, disamping masalah bully, ada potensi pelanggaran hukum lainnya.
Mari hentikan penyebarluasan viral berita yang menampilkan wajah siswa-siswa tersabut. Apalagi jika mereka masih berusia kanak-kanak, sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak, wajah dan identitas mereka harus ditutup.
Semoga masalah ini segera teratasi setuntas dan sebijaksana mungkin. Apa pun jalannya, mudah-mudahan siswa-siswa lain di lembaga pendidikan dimaksud tidak terkena imbasnya.
Penulis: Reza Indragiri Amriel
Kabid Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia