News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Psikologi Orang Kalah

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno hadiri acara konferensi nasional Parta Gerindra di Sentul, Rabu (18/10/2017).

Benarkah pribumi, kalau masih boleh menggunakan istilah ini, terjajah dan kini baru merdeka dan oleh karena itu harus menjadi tuan di negeri sendiri?

Pidato Anies itu tidak akan dinilai mundur jauh ke belakang bila disampaikan usai Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.

Benarkah kondisi pribumi Indonesia saat ini selayaknya suku Indian di AS atau Aborigin di Australia? Tentu tidak. Sebab itu, pidato Anies tersebut lebih mewakili psikologi orang-orang kalah.

Anies, salah satunya mungkin karena keteledorannya meloloskan kelebihan anggaran Rp23,5 triliun, yang kemudian dicoret Menteri Keuangan Sri Mulyani; didepak Jokowi dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dikalahkan oleh Jokowi pada Pilpres 2014.

Saat mendampigi Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres pada Pilpres 2009, Prabowo bersama capres Megawati dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono.

Dengan mengusung isu pribumi, Anies bukan hanya hendak mengejawantahkan psikologi orang-orang kalah, melainkan juga menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang termarjinalkan atau terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi, mungkin minus Jusuf Kalla, karena Wakil Presiden itu dianggap Anies sebagai patron politiknya.

Dalam konteks ini, Anies yang bukan benar-benar pribumi, sekali lagi bila masih boleh menggunakan istilah ini, menciptakan blunder, karena ia sendiri peranakan Arab (mohon maaf tanpa bermaksud mengembuskan isu SARA serta melanggar Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008).

Mengutip Herry Tjahjono (Kompas, 6 April 2013), sesuai hukum psikologi orang-orang kalah, sosok yang terkalahkan itu justru akan mendapat magnet simpati dan dukungan moral yang luar biasa dari rakyat.

Psikologi orang kalah pun menunjukkan tuahnya. Rakyat dikuasai kecenderungan bawah sadarnya yang selalu memihak, mendukung, dan memberi simpati kepada figur-figur yang “dianiaya, disakiti, dipinggirkan”. Playing victim pun dimainkan dengan cerdik oleh Anies.

Namun mesti diingat, terlepas apakah Anies akan maju dalam Pilpres 2019 atau tidak, dan akan terpilih atau tidak, gaya kepemimpinan orang kalah tidak akan pernah membuat seorang pemimpin menjadi besar.

Ia hanya akan menjadi pemimpin rata-rata saja. Ada tiga hukum dasar (ke)pemimpin(an) besar.

Pertama, kepemimpinan besar tidak memberi ruang bagi praktik kepemimpinan orang kalah, sebab gaya kepemimpinan orang kalah sangat bertentangan dengan hukum dasar kepemimpinan besar: melayani! Praktis, kepemimpinan melayani adalah menjadi orang yang mengalah, bukan orang yang kalah.

Pemimpin (orang) yang kalah dikuasai sindrom orang kalah, tetapi sesungguhnya ingin menaklukkan orang lain.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini