Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai politikus, Setya Novanto tentu bukanlah sosok lugu. Maka ketika mantan Ketua DPR itu mengaku mendapat tugas mencuci piring di tahanan, disinyalir ada maksud lain di baliknya.
Apakah itu? Ialah semacam satire, sindiran, atau "sanepa" dalam bahasa Jawa.
Bila skandal korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu ibarat sebuah pesta, maka yang dimaksud mendapat tugas mencuci piring oleh Novanto ialah ia menjadi terdakwa di pengadilan.
Supaya piringnya tercuci semua, maka ia akan membeberkan nama-nama lain yang juga diduga menerima fulus e-KTP, ikut berpesta atau "bancakan". Mereka tak akan ia biarkan sekadar mencuci tangan lalu melenggang.
Nama-nama itu sudah tercatat di buku hitam yang selalu dibawa Novanto ke persidangan. Pada saatnya nanti, kata Maqdir Ismail, pengacara mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, kliennya akan membuka ke publik, termasuk nama-nama dalam dakwaan terdakwa sebelumnya, Irman dan Sugiharto, yang hilang dalam dakwaan kliennya, seperti Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly dan Olly Dondokambey.
Apakah nama-nama itu, konon ada nama besar pula, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Kita tidak tahu pasti. Sebab, Novanto selalu menyembunyikan buku hitam itu dari pandangan wartawan, apalagi untuk diintai isinya.
Baca: Setya Novanto: Saya Sih Bagian Cuci Piring Saja
Yang jelas, nama Ketua Umum Partai Demokrat itu hanya disebut Mirwan Amir, yang juga mantan kader Demokrat, saat menjadi saksi bagi terdakwa Setya Novanto dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/1/2018). Itu pun tak ada kaitannya dengan fulus. Saat itu, Mirwan mengatakan dirinya sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pernah menyarankan agar SBY menghentikan megaproyek e-KTP. Akan tetapi berdasarkan tanggapan dari SBY, proyek tersebut akhirnya dilanjutkan dengan dalih menghadapi pilkada (Tribunnews.com, 25 Januari 2018).
Dari berita-berita sebelumnya, sedikitnya ada 22 nama anggota dan mantan anggota DPR yang diduga ikut kecipratan fulus e-KTP yang seluruhnya menelan anggaran Rp 5,9 triliun itu. Fulus e-KTP juga diduga mengalir ke sejumlah partai politik, seperti Partai Golkar sebesar Rp 150 miliar, Demokrat sebesar Rp 150 miliar dan PDIP sebesar Rp 80 miliar. Namun, para petinggi parpol-parpol tersebut kompak membantahnya.
Cuci Tangan
Begitu Mirwan Amir, yang mungkin akan dianggap sebagai si Malin Kundang, itu menyebut nama SBY, para loyalis mantan RI-1 itu pun bereaksi keras. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengungkapkan, e-KTP merupakan proyek pemerintah. Oleh karena itu, jika ada yang salah, adalah pelaku korupsinya, bukan programnya. Mantan Menteri Koperasi dan UKM itu juga menegaskan jika mengaitkan SBY dengan kasus e-KTP maka itu fitnah. "Itu politis, itu fitnah," ungkapnya (Tribunnews.com, 25 Januari 2018).
Hal senada diungkapkan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin yang mengaku baru bertemu dan berbicara langsung dengan SBY.
Apakah bantahan keras tersebut merupakan upaya “cuci tangan”? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, semua nama yang disebut terdakwa atau saksi perkara e-KTP, membantah, termasuk mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang bahkan siap untuk disumpah pocong.