Parpol oposisi, yakni Partai Gerindra (73/13%) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS/40/7,1%) masih keukeuh mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto seabagai capres pada Pilpres 2019.
Bila kursi Gerindra dan PKS digabung maka ada 20,1%, sudah cukup untuk mengusung pasangan calon, dan kekuatan oposisi masih bisa bertambah bila Partai Demokrat (61/10,9%) yang selama ini memosisikan diri sebagai penyeimbang ikut bergabung. Belum lagi jika PAN akhirnya memutuskan menyeberang dari pemerintah menjadi oposisi.
Jika koalisi pemerintah versus oposisi tersebut solid, kemungkinan hanya akan muncul dua pasang calon pada 2019 seperti pada Pilpres 2014.
Namun, jika koalisi pecah, bisa muncul lebih banyak capres, apalagi PKB sudah “mengancam” akan membuat poros baru bila ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, tak dijadikan cawapresnya Jokowi. PKB bisa jadi berkoalisi dengan PAN dan Demokrat, bila tidak mau bergabung dengan Gerindra dan PKS.
Presiden PKS Sohibul Iman dan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengakui pemerintah melobi parpol masing-masing untuk bergabung mengusung Jokowi sebagai capres di 2019.
Ada pula tawaran agar Prabowo menjadi cawapresnya Jokowi. Ini adalah langkah-langkah politik untuk mengondisikan Pilpres 2019 diikuti hanya oleh sepasang calon. Jelas, itu tidak sehat bagi demokrasi. Masak, dari 270 juta penduduk Indonesia cuma satu yang bisa menjadi capres?
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Eriko Sotarduga mengakui Jokowi bisa menjadi capres tunggal dan melawan kotak kosong dalam Pilpres 2019. Ada tiga faktor yang menurutnya bisa membuat Jokowi capres tunggal.
Pertama, terkait elektabilitas. Elektabilitas Jokowi sebagai petahana jauh lebih tinggi dari calon-calon lainnya, termasuk Prabowo yang menjadi lawan terkuatnya.
Kedua, terkait PT, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014 untuk bisa mengusung pasangan calon. Saat ini sudah lima parpol menyatakan dukungan ke Jokowi.
Ketiga, keinginan setiap parpol untuk mengincar kemenangan di Pilpres 2019. Kalau mencalonkan yang lain, mereka tak mau ambil risiko kalah.
Demi sehatnya demokrasi, mestinya parpol-parpol pendukung pemerintah justru mengondisikan agar ada pasangan calon yang akan melawan Jokowi. Apalagi, bila nanti ternyata petahana kalah melawan kotak kosong, itu akan mempermalukannya.
Tak boleh ada oligarki atau sikap jumawah. Simak saja hasil survei Kedai Kopi di mana survei lembaga ini berbeda dengan survei lembaga lain. Jika survei lembaga lain menyimulasikan Jokowi dengan para tokoh penantangnya, survei Kedai Kopi justru menyimulasikan "Jokowi versus selain Jokowi".
Survei dilakukan pada periode September 2017. Hasilnya, responden yang memilih selain Jokowi lebih banyak, yakni 48,9%, sedangkan yang memilih Jokowi 44,9%. Responden sisanya tidak memberikan jawaban. Jokowi, diadu dengan siapa pun, akan menang. Tapi begitu ditanya, Jokowi atau selain Jokowi, hasilnya Jokowi kalah.
Berdasarkan hasil survei itu, bisa jadi justru pemilih yang kesal karena tidak mempunyai pilihan tokoh lain justru akan memilih kotak kosong. Alhasil, Jokowi belum tentu menang meski jadi calon tunggal melawan kotak kosong.
Demi sehatnya demokrasi dan menjaga marwah petahana Presiden Jokowi dari kemugkinan kalah melawan kotak kosong, maka capres tunggal harus ditolak.
Sopyan Iskandar: Ketua DPP LPRI (Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia).