Oleh: Sahat Martin Philip Sinurat*
TRIBUNNEWS.COM - Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Kalimat di atas adalah agenda pertama Nawacita yang disusun oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Jeritan para korban KM Sinar Bangun kukenang kembali. Tangisan keluarga korban yang kudengar beberapa hari lalu di Tigaras, kuingat lagi. Mereka masih menanti dengan sabar, tak menghiraukan rasa lelah. Hanya satu pinta mereka di dalam hati, "ingin melihat jasad sanak keluarganya untuk terakhir kali."
Saya kembali membaca agenda Nawacita di atas. Apakah negara sudah kembali hadir untuk segenap bangsa? Mengapa pencarian korban KM Sinar Bangun diselesaikan secepat ini? Sementara beberapa tahun lalu pencarian korban pesawat Airasia yang terjatuh bisa berlangsung sampai berbulan-bulan?
"Akh!"
Lirih jeritan suara hatiku, pilu hatiku, sesak dadaku membayangkan semua pertanyaan yang ada. Saya menyadari dan mengakui bahwa posisi kapal saat ini berada di kedalaman 450 meter. Sedangkan pesawat Airasia yang tenggelam di Selat Karimata berada di kedalaman 35-50 meter. Jika dibandingkan dengan kedalaman laut, posisi tenggelam KM Sinar Bangun berada di kategori laut dalam. Sementara penyelam yang paling hebat di dunia sekalipun hanya mampu menyelam di kedalaman 50-100 meter. Lebih dari itu, hanya bisa menggunakan media robot.
Saya bersama teman-teman melihat secara langsung tim Basarnas di lapangan. Menurut pengamatan kami mereka sudah berupaya maksimal. Begitu juga Polri dan pasukan elit TNI (Kopaska, Yontaifib, dan lainnya), yang ikut dalam Tim Terpadu Pencarian dan Pertolongan Korban KM Sinar Bangun. Namun kekuatan manusia ada batasnya, dan posisi yang diketahui dari kapal dan para korban berada di luar ambang batas kemampuan manusia.
Terlihat dari pancaran wajah tim pencarian yang ingin berbuat lebih, lebih dan lebih lagi. Beban yang mereka pikul sebagai pasukan elite terbaik di dunia pun menjadi taruhan. Seorang petugas Basarnas dengan pangkat jenderal bintang satu, hampir setiap malam terlihat mondar-mandir di dermaga. Dia mendatangi dan menyapa satu per satu orang yang masih berada di dermaga.
Tak menghiraukan pangkat, wibawa, atau sejenisnya, dengan polos dan wajah lelah sang jenderal kerap bertanya untuk meminta saran. Beberapa hari lalu pada hari ke-12 pencarian yang jatuh pada tanggal 29 Juni 2018. Pukul 01.00 WIB dini hari sambil duduk bersila, sang jenderal meminta rokok dengan alasan rokoknya sudah habis, dan tidak ada warung yang buka.
"Bapak, apakah ada saran tentang apa yang harus kami lakukan?" ujarnya sembari menikmati tarikan rokok kretek di dermaga pelabuhan Tigaras, Sumatera Utara.
Setelah 15 hari pencarian akhirnya pemerintah menyatakan pada Senin, 2 Juli 2018, pencarian dalam skala nasional diberhentikan. Dalam hal ini tentu kita harus mempertimbangkan untuk menggunakan alat yang mutakhir. Alat yang mungkin sama dengan yang digunakan untuk bisa mengangkat artefak Kapal Titanic dari kedalaman 3000an meter. Sudah ada alatnya, selanjutnya adalah political will. Apakah negara hadir bagi segenap rakyatnya?
Jika proses pencarian dihentikan, rakyat butuh informasi yang terang tentang alasannya. Tentang setiap kemungkinan yang sebenarnya masih bisa dilakukan. Jika institusi tidak punya alat yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengangkat kapal dan para korban, ataupun kita kekurangan dana untuk membawa alat tersebut, mengapa itu tidak kemudian disampaikan dengan jujur kepada masyarakat Indonesia?
Bangsa ini dibangun dalam kultur masyarakat gotong royong dengan nilai-nilai persaudaraan (brotherhood society) pasti akan tergerak. Jika pihak yang paling bertanggungjawab tentang kejadian ini tidak bisa memikul tanggungjawab, saya yakin, kekuatan dari nilai-nilai persaudaraan yang terwujud dalam semangat gotong royong akan mampu menggerakkan setiap anak bangsa. Kita bersama-sama akan kumpulkan dana untuk dapat membawa alat itu ke Danau Toba. Ratusan orang menangis hingga saat ini. Bukankah tangisan mereka adalah tangisan kita juga? Jika memang pemerintah kita kekurangan dana untuk dapat membawa alat berteknologi yang mereka maksud, kenapa tidak kita segenap rakyat Indonesia urunan bersama, mengumpulkan dana untuk membawa alat itu ke Danau Toba.
Jika ternyata negara tidak bisa hadir melindungi segenap rakyatnya, mungkin harus kita sebagai rakyat yang hadir untuk melindungi satu sama lain.
*Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)