Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
TRIBUNNEWS.COM - SBY deklarasi Prabowo sebagai capres. Tanpa syarat cawapres. Cawapres diserahkan kepada Prabowo. Apakah ini bertanda turun berkah? Nanti dulu. Bisa iya, bisa juga tidak.
Agak janggal! Pertama, SBY punya kursi 61. Lebih besar dari PAN 49 kursi, dan PKS 40 kursi.
Mungkinkah SBY terima ketika Prabowo ambil cawapres dari PAN atau PKS? Kedua, SBY punya AHY.
Elektabilitas tinggi. Melampaui cawapres yang ditawarkan PKS. Lebih tinggi pula dari Zulkifli Hasan, ketua PAN.
Ketiga, SBY seorang begawan politik. Dua periode jadi presiden. Kalau ibarat pemain bola, SBY itu striker. Tahu kapan mengoper, dan kapan mengegolkan.
Lalu, serahkan kursi 61 tanpa syarat? Gak logis! Dan terlalu naif jika memahami SBY sepolos itu. Salah memahami langkah politik SBY bisa jadi musibah. Oh iya...ya... Baru sadar?
Disisi lain, Prabowo terlanjur kontrak politik dengan Ijtima' ulama. Dikatakan kontrak, karena pernyataan politik, meski tak tertulis, secara moral adalah kontrak politik. Itu janji. Harus ditepati. Apalagi dinyatakan di depan media.
Setidaknya ada dua kontrak politik Prabowo dengan ulama di acara Ijtima'.
Pertama, Prabowo siap mundur dan mendukung calon lain jika ada yang lebih baik darinya. Ini pernyataan keren banget.
Sangat matang dan terukur. Pernyataan ini membuat Prabowo berhasil memberikan pesan positif ke publik bahwa ia adalah seorang negarawan sejati.
Maju capres hanya semata-mata karena ingin memberikan baktinya kepada bangsa dan negara. Narasi kuatnya seolah berbunyi: "aku hadir untuk menyelamatkan bangsa". No ambisi. No nafsu kekuasaan.
Kedua, Prabowo memastikan diri ikut keputusan Ijtima'. Taat pada Imam Besar Habib Rizieq. Apapun keputusan Ijtima' itu, ia akan ikut.
Keputusan Ijtima' merekomendasikan Prabowo capres dengan dua alternatif cawapres, yaitu Habib Salim Segaf Al-Jufri, Dewan Syura PKS dan Ustaz Abdussomad (UAS).