Konsep trias politika kali pertama dicetuskan oleh filsuf Inggris, John Locke, tahun 1500-an dan dikembangkan oleh sarjana Perancis, Montesquieu.
Semua negara demokratis, termasuk Indonesia, menerapkan trias politika agar tidak terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi oleh salah satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances.
Namun bila melihat kasus korupsi yang terjadi di eksekutif, legislatif dan yudikatif, sempurnalah korupsi di Indonesia karena melibatkan semua lembaga yang merupakan trias politika. Maka trias politika pun bisa dipelesetkan menjadi “trias koruptika".
“Trias koruptika” terjadi karena pengawasan antar-lembaga negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif sangat buruk.
Bukannya saling mengontrol dan mengimbangi (check and balances), mereka bahkan ikut larut dalam pusaran masalah yang harusnya dipecahkan, yakni korupsi, sehingga ekspresi yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan korupsi yang melanda trias politika adalah “trias koruptika”.
Ketika trias politika terbelenggu korupsi, layakkah Indonesia disebut merdeka? Tidak! Sebab, korupsi berdampak pada naiknya angka kemiskinan, pengangguran dan kebodohan.
Karena uang negara dikorupsi, maka anggaran negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan kebodohan, hilang percuma.
Padahal, tujuan kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di antaranya ialah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagaimana rakyat mau sejahtera kalau anggaran pengentasan kemiskinan terus dikorupsi? Bagaimana rakyat mau cerdas kalau anggaran pendidikan dikorupsi?
Itulah sekelumit renungan di Hari Kemerdekaan ini. Marilah kita merdekakan bangsa Indonesia dari belenggu korupsi!
Dr Anwar Budiman SH MH: Praktisi Hukum dan Pengamat Politik, Tinggal di Jakarta.