Dikirimkan oleh fx Wikan Indrarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Soekarno dan Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945. Sejak itu Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan. Apakah saat ini profesi dokter masih mengalami pejajahan?
Baca: Begini Penampilan Terbaru Roy Kiyoshi Setelah Dikabarkan Habis Operasi Plastik
Profesi dokter yang bebas merdeka adalah saat dokter dapat memberikan layanan medis paripurna, baik dalam aspek preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif, kepada para pasiennya.
Era layanan dokter merdeka seperti itu disebut era fee for service, karena dokter akan menerima ‘honorarium’ dari para pasien, sebagai bentuk penghormatan pasien atas layanan medis, setelah diberikan dokter.
Dampak buruk era pembiayaan layanan medis yang disebut ‘retrosepktif’ atau dibayar di belakang tersebut, adalah semakin mahalnya biaya layanan medis, sejalan dengan berkembangnya iptekdok yang semakin pesat.
Baca: Ketika Sejumlah Pejabat Negara Kenakan Baju Adat Saat Menghadiri Upacara HUT ke-73 Kemerdekaan RI
Era tersebut di Indonesia selesai, setelah berlakunya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 1 Januari 2014.
Hal ini karena pola penjaminan biaya layanan pasien pada era JKN telah berubah, yaitu sekarang bersifat ‘prospektif’ atau ditentukan besaran biayanya di depan, yaitu sebelum layanan medis dilakukan, meskipun pencairan klaim atau pembayarannya tetap dilakukan setelah layanan medis selesai.
Dengan ini dokter menjadi salah satu profesi yang dianggap masih terbelenggu dan belum merdeka, karena kebebasan profesinya belum terwujud, terutama saat memberikan layanan medis kepada pasien peserta JKN.
Pada hal, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menargetkan jumlah peserta JKN akan meningkat hingga 257 juta orang pada tahun 2019.
Pada 1 Juli 2018 lalu, peserta JKN telah mencapai 199 juta jiwa atau sekitar 80 persen dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia.
Merdeka bagi profesi dokter adalah sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012, khususnya Pasal 3.
‘Proklamasi kemerdekaan dokter Indonesia’ tersebut menegaskan bahwa, dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Oleh sebab itu, merdeka menurut pemahaman para dokter adalah meliputi merdeka menulis diagnosis seperti yang diajarkan saat kuliah, merdeka menulis resep obat tanpa kawatir plafon jebol, merdeka mengerjakan tindakan medis tanpa dituduh ‘fraud’, dan merdeka dari kekawatiran klaim tidak akan cair.
Dalam buku 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno' yang ditulis Asvi Warman Adam, Presiden Soekarno menegaskan bahwa sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal, yang disebut Trisakti.
Dalam hal ini berarti berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Bagi dokter, merdeka seharusnya memiliki tetrasakti, yaitu 4 buah pilar kemerdekaan yang bertanggungjawab, tetapi tidak mutlak bebas, di bidang politik, ekonomi, budaya dan etika.
Kemerdekaan yang bertanggung jawab di bidang politik, harus dimaknai bahwa para dokter dapat ikut berperan dalam menentukan kebijakan dan sistem beraku, baik dalam hal pendidikan kedokteran maupun pelayanan kesehatan nasional.
Dalam bidang ekonomi berarti bahwa para dokter wajib terlibat dalam penentuan dan pengembangan sistem pembiayaan layanan medis yang efektif dan efisien. Dalam bidang budaya berarti bahwa para dokter mampu ambil bagian dalam pembentukan budaya hidup sehat (lifestyle) di dalam masyarakat.
Baca: Meriahkan HUT RI Tahun Ini, Anies Baswedan Kembali Ikuti Lomba Tarik Tambang
Kemerdekaan yang bertanggung jawab di bidang etika, sebenarnya berarti bahwa para dokter mampu bertindak profesioal yang dilandasi oleh 3 jenis dasar moral ataupun prinsip bioetika.
Hal ini sudah ditegaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012, yaitu para dokter Indonesia wajib untuk berbuat baik (benecence), tidak merugikan (non malecence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan berlaku adil (justice). Untuk itu, Dokter Indonesia seyogyanya memiliki keseluruhan kualitas dasariah manusia yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial, kesejawatan dan cinta tanah air Indonesia.
Dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, khususnya Pasal 1 Angka 12, menyebutkan bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah satu-satunya organisasi profesi dokter yang sah.
Oleh sebab itu, para dokter anggota IDI memiliki kewajiban untuk menghadirkan praktek kedokteran yang baik. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa praktek kedokteran yang baik haruslah bermutu, legal dan etis, agar pasien terlindungi.
Dengan demikian, tuntutan kemerdekaan dan kebesan profesi dokter tidak boleh lagi mutlak sebagaimana dahulu terjadi pada era ‘fee for service’, tetapi harus bersifat pragmatis, realitis dan logis. Dalam hal ini, menjadi sebuah tuntutan kemerdekaan yang bertanggungjawab, berasaskan ‘benecence’, ‘non malecence’, ‘autonomy’, dan ‘justice’, sesuai dengan perkembangan politik, ekonomi, dan sistem layanan kesehatan nasional di Indonesia.
Oleh sebab itu, PB IDI pantas memimpin segenap dokter Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang bertanggungjawab di bidang politik, ekonomi, budaya dan etika dalam era JKN.
Sudahkah kita berpikir cerdas?