Ada yang memakai frasa ‘tabur tuai’ untuk kasus ini. Jika kita menabur angin, kita harus siap menuai badai. Yang lain lagi memakai ungkapan yang lebih rohani ‘Gusti ora sare’. Tuhan sentiasa melihat apa yang kita lakukan, bahkan meskipun kita melakukannya di balik tembok yang tebal. Bukankah kita sering mendengar ‘tembok pun bertelinga’? Apalagi jika yang menabur angin ternyata dianggap mau ‘kabur’, pakai uang negara pula.
Saat semua mata fokus kepada—meminjam istilah warganet—biang hoax nasional, kita justru lupa mengapresiasi sasaran tembak sang pembuat hoax. Ketika yang lain sibuk membahas kasus pemukulan palsu, yang diinsinuasi justru sibuk memulihkan Palu dan Donggala yang digoncang gempa dan disapu tsunami. Meskipun sudah all out membereskan wilayah paska gempa, bahkan sampai mau menginap di tenda, ada saja netizen nyinyir yang menyindir bahwa yang dikerjakannya hanyalah sekadar pencitraan. Bikin miris, bukan?
Baca: Jokowi: Dedikasi Sutopo Inspirasi untuk Kita Semua
Baca: Reaksi Sutopo saat Presiden Jokowi Kaget Lihat Dirinya yang Tampak Sehat, Tidak Seperti Sakit Kanker
Lalu apa yang perlu kita lakukan bersama? Meminjam istilah Paulo Freire—tokoh (saya lebih senang menyebutnya filsuf) pendidikan asal Brasil—yang memilih untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat bahwa problem tertentu—misalnya masalah buta huruf—harus dihadapi bersama-sama. Kita bukan hanya ‘memaksa’ orang-orang buta hufur belajar abjad mati-matian sehingga hampir sekarat karena otak yang dianggap ‘sudah berkarat’, melainkan justru membuat masalah ini menjadi problem bersama. Pekerjaan sebesar apa pun, jika dikerjakan dengan mandi keringat bersama, hasilnya pasti lebih membuat kita bangga. Conscience—hati nurani, kata hati, suara hati—bersama inilah yang membuat program apa pun menjadi cepat terlaksana dengan hasil yang baik pula.
Kesadaran masyarakat akan bahasa hoax inilah yang membentuk demokrasi yang baik. Bukan pseudo-democracy yang penuh kepura-puraan bahkan enforcement of democracy yang secara etimologi saja sudah saling bertentangan.
Mana ada demokrasi yang dipaksakan—misalnya oleh pemerintah yang korup dan/atau junta militer—yang terus-menerus ingin berkuasa seperti yang terjadi di Myanmar. Akibatnya? Tokoh ‘demokrasi’ sekaliber Aung San Suu Kyi jadi keblinger saat sudah duduk di pusat kekuasaan. Rupanya, kevokalan pemimipin National League for Democracy ini hilang tertelan pusaran kekuasaan yang lebih besar lagi, militer, sehingga gelar warga negara kehormatan Kanada yang diberikan kepadanya terancam dicabut.
Kesadaran kritis masyarakat yang meningkat membuat mereka memplesetkan kata ‘democracy’abal-abal ini menjadi ‘democrazy’. Memang tidak ada kegilaan yang lebih edan ketimbang pemaksaan demokrasi. Praktik ini tumbuh subur di zaman orde baru sehingga sebelum pemilu pun rakyat sudah tahu siapa yang bakal menang. Di zaman reformasi yang seharusnya mengalami perubahan radikal ternyata sami mawon. Sudah menjadi rahasia umum, tokoh yang kalah pilkada—tetapi punya amunisi yang unlimited dan dekat dengan yang punya kuasa—bisa jadi pemenang setelah terjadi perhitungan ulang. Siapa yang bisa mengotak-atik bahkan membalik angka kekalahan menjadi kemenangan kalau bukan kekuatan besar yang ontouchable?
Itulah sebabnya warganet memberi reaksi negatif saat pembuat hoax yang memanipulasi berita gempa dan tsunami di Palu dan Donggala yang menernak 14 akun abal-abal ditangkap. What’s next? Mereka berharap aparat tidak tebang pilih. Apalagi menebangnya dengan filosofi kapak? Bukankah kapak memang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas? Jika yang membuat berita bohong itu orang biasa, dengan cepat bisa disergap, apakah hal yang sama bisa dilakukan terhadap elit politik yang melakukan hoax berjemaah?
Mari mengasah ketajaman logika kita sekaligus memperpeka hati nurani kita sehingga tidak mudah dihasut oleh berita palsu sekaligus tidak mudah iba terhadap orang yang bermain sandiwara untuk playing victim. Apalagi setelah sukses gilang gemilang membuat orang meradang atau mata berlinang, secara diam-diam bermaksud menghilang meninggalkan gelanggang.
*Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.