Pada urutan ke-19, disebutkan TNI dan polri termasuk subjek RA dengan syarat pangkat paling tinggi letnan dua atau inspektur dua yang tidak memiliki tanah.
Dengan pembatasan yang ketat ini, dan menempatkannya dalam urutan ke-19, bisa dipahami bahwa TNI dan Polri bukan skala prioritas dalam konteks implementasi.
Sebaiknya dalam peraturan teknis diatur bahwa peruntukan tanah untuk TNI/Polri dengan pangkat tersebut hanya untuk wilayah perkotaan dengan peruntukan perumahan, bukan lokasi pedesaan dengan peruntukan produksi.
Keterlibatan Masyarakat
RA secara administratif diselenggarakan oleh sebuah badan yang disebut Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di bawah Kemenko Ekonomi. Dilevel propinsi dibentuk GTRA provinsi yang diketuai oleh Gubernur, dengan pelaksana kepala BPN setempat, demikian juga di level kabupaten dan kota.
Para penggiat agraria menengarai bagian ini sebagai salah satu titik krusial dari Perpres RA. Bagaimana tidak, perpres harus diimplementasikan aparat struktural yang justrul selama ini dianggap tidak punya gagasan dan agenda reforma agraria, khususnya di level pemerintah daerah.
Baca: Kawasan Hutan Gunung Guntur Garut Terbakar Lagi, Aktivitas Pendakian Ditutup
Elit daerah masih harus sibuk mengurus dirinya sendiri. Reformasi birokrasi daerah masih buruk, inefisien, tidak transparan, bertele-tele dalam mengurus rakyat dan masih jauh dari mentalitas melayani (Rilis Menpan 19/5/2016).
Implikasinya, banyak kepala daerah harus berurusan dengan penegak hukum karena urusan korupsi khususnya perijinan sumberdaya alam di daerahnya masing masing. Kemendagri mencatat sebanyak 434 orang kepala daerah terjerat korupsi sejak 2004 hingga 2018, di mana perizinan terbukti sebagai salah satu diantara tujuh sumber-sumber utama korupsi (Kompas,27/10/2018)
Sementara itu organisasi pendukung RA dan organisasi organisasi petani di Indonesia tidak dilibatkan secara nyata dalam posisi penting GTRA, baik di level nasional maupun daerah. Perpres hanya mengamanatkan bahwa GTRA dalam pelaksanaannya dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
Dalam implementasinya, diharapkan pemerintah Indonesia tidak menggunakan utang dalam implementasinya.
Bulan Juni 2018, publik dikejutkan dengan berita penandatanganan kontrak utang untuk reforma agraria antara World Bank dengan Menteri Agraria dan Tataruang.
Berbagai organisasi pendukung RA menyampaikan protes keras, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria. Belum jelas akhir dari kisruh ini, namun pihak ATR menyampaikan telah meninjau ulang perjanjian itu.
Poin tolak utang untuk reforma agraria menjadi salah satu poin bersejarah dalam isi deklarasi Bandung pada Global Land Forum, September 2018 yang lalu. “Deklarasi Bandung” akhirnya memuat satu kalimat penting terkait tidak bolehnya menggunakan utang dalam mengimplementasikan reforma agraria, karena reforma agraria menyangkut kedaulatan suatu negara.
Memelihara Momentum