Oleh Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Langkah politik Jokowi yang cenderung akomodatif belakangan ini membuat banyak tokoh politik kelas kakap bertekuk lutut. Bahkan elite politik yang sebelumnya berseberangan pun tidak luput untuk diajak dan dibujuk untuk memuluskan langkah-nya menuju dua periode.
Terbaru, bergabungnya Yusril Ihza Mahendra menjadi kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin membuat jagat politik nasional kembali geger, entah apa yang menjadi penyebab banyak elite politik belakangan menyerah tanpa syarat kembali mendukung Jokowi-Ma'ruf.
Baca: Kata Yusril, Beritanya di Media Online Langsung Ditanggapi Padahal Baru Baca Judulnya, Isinya Belum
Politisi sekaligus pengacara kelas berat ini akhirnya membuat keputusan yang cukup mengagetkan publik, Yusril akhirnya memutuskan menjadi kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf Amin setelah lama di-cuekin dan terkesan tidak dianggap penting oleh kubu Prabowo-Sandi.
PBB menjadi salah satu partai yang merasa tidak diperhitungkan, tidak dianggap dan tidak diajak bicara terkait susunan format koalisi yang menjadi ruh dari tim pemenangan pasangan kandidat.
Langkah politik Yusril ini menjadi tanda tanya dari banyak kalangan grassroot terkait rekam jejak pribadi dan partainya yang selama ini berseberangan dengan pemerintah.
Baca: Dikaitkan Dengan Tokoh PKI DN Aidit, Begini Penjelasan Yusril
Di satu sisi keputusan ini menjadi kontradiksi dan merugikan partainya karena melawan arus bawah pemilih PBB yang cenderung berseberangan dengan pemerintah, adanya rekomendasi Ijtimak Ulama dan peran aktif-nya selama ini membela kepentingan umat.
Di sisi lain, pilihan politik ini punya potensi memecah kebuntuan dan membuka peluang perluasan basis untuk memilih PBB.
Dengan catatan Yusril sebagai tokoh sentral harus segera membangun asosiasi terhadap capres-cawapres yang didukung dan menunjukkan sikap pembelaan dan keberpihakan kepada kandidat yang diusung oleh Koalisi Indonesia Kerja, tapi tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah bukan?
Jika dicermati lebih lanjut, ada kegelisahan teramat mendalam yang menjadi beban pemikiran dari seorang Yusril. Kecemasan ini berkaitan dengan sistem pemilu serentak yang menjadi ancaman bagi partai-partai kecil termasuk di dalamnya PBB.
Harus diakui sistem pemilu langsung dan serentak ini menjadi angin segar bagi partai-partai yang punya kandidat capres-cawapres (coattail effect). Namun bagaimana nasib partai politik yang tidak punya capres pada pilpres 2019? Apakah menjadi ancaman serius bagi partai yang tidak punya capres bertarung di pilpres?
Ini pertama kalinya kita menyelenggarakan pileg dan pilpres berbarengan, maka se-sama partai di dalam koalisi yang tak punya capres bisa terancam kehilangan kursi atau bahkan bisa saja tidak lolos ke parlemen.
Kegelisahan ini membuat Yusril mempertanyakan format koalisi yang dibangun di kubu Prabowo-Sandi yang menurutnya hanya menguntungkan Gerindra semata tanpa memikirkan nasib partai mitra koalisi di dalamnya. Tawaran untuk duduk bersama dan membuat model aliansi baru sepertinya belum mendapat respon cepat dari Prabowo-Sandi.
Tawaran aliansi yang dikemukakan Yusril adalah salah satu jalan keluar agar koalisi yang dibangun tidak hanya menguntungkan partai yang punya kandidat capres-cawapres.