Oleh: Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
TRIBUNNEWS.COM - Dalam banyak kesempatan kita sudah membahas bagaimana proses elektoral menuju Pilpres 2019 telah membentuk realitas sosial-politik yang kompleks dan meresahkan. Hal itu disebabkan oleh sejumlah hal.
Pertama, penerapan “kampanye negative” (negative campaign) yang kebablasan sehingga menjelma menjadi “kampanye hitam” (black campaign).
Serangan-serangan terhadap pemerintah oleh oposisi telah kehilangan nuansa rasional dan moral sehingga antara kritik dan caci-maki sudah tidak ada batas; kebenaran dan kebohongan tidak lagi penting karena yang terpenting adalah menang-kalah.
Kedua, politisasi identitas tradisional (suku, agama, ras, dan antargolongan/SARA) menjadi andalan utama oposisi dalam menggerus dukungan terhadap pemerintah dan mendulang suara para pemilih labil atau swing voters, terutama klaster pemilih milenial yang krisis informasi tentang rekam jejak para kandidat dan partai politik yang ada.
Ketiga, paradigma politik para kandidat yang membentuk model kampanye dan narasi atau propaganda politik yang dikembangkan.
Baca: Maruf Amin: Ada Orang yang Mengatakan Negara Akan Punah, Emangnya Dinosaurus?
Kubu Oposisi memakai paradigma pesimistik tentang keadaan Indonesia hari ini dan masa depannya sedangkan kubu pemerintah melihat dengan paradigma optimistic karena melihat laju pembangunan yang terus bergerak pada garis linear yagn meyakinkan sejak Jokowi berkuasa tahun 2014.
Paradigma pesimistik yang dipakai Prabowo memanfaatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat akar rumput yang ditandai oleh kemiskinan, krisis informasi, keterbatasan peluang akses terhadap pembangunan, dan perasaan ketidakadilan yang bersifat structural yang sebetulnya dampak dari kegagalan pembangunan selama puluhan tahun sejak Orde Baru berkuasa 32 tahun (1966-1998).
Prabowo ingin mempolitisasi perasaan kolektif masyarakat akar rumput dan meletakkan seluruh dosa Orde Baru dan bahkan kegagalan 10 tahun SBY sebagai beban yang harus dipikul Jokowi yagn baru berkuasa empat tahun.
Pada ruang inilah, Prabowo ingin melakukan abstraksi atas seluruh pendekatan pesimistik yang diterapkannya dengan menebarkan ketakutan kolektif bahwa jika ia tidak terpilih maka Indonesia punah.
Ini sebuah trik politik yang cerdik dan licik tetapi cukup efektif karena tidakrumit dan mudah dimengerti masyarakat.
Model propaganda macam ini bisa mengalahkan seluruh prinsip baik dan kinerja Jokowi jika petahana tidak mampu menangkal dengan kontranarasi yang tepat, cerdas, dan pola penyampaian yang tepat-sasaran dan mudah dimengerti public.
Sebaliknya, paradigma optimistic Jokowi memerlukan strategi canvassing yang tepat di tingkat basis agar basis pemilih tidak digarap oleh lawan.
Keempat, proses politik ini berjalan pada dua arah yanG berbeda, yang satu ingin mundur ke belakang dan yang lain ingin maju ke depan.
Dengan melibatkan dan menghidupkan ingatan tentang dan program politik Orde Baru, kubu Oposisi ingin mendaur ulang “Negara Orde Baru”.
Sedangkan Jokowi ingin melanjutkan reformasi ini pada gerak linear yang maju ke depan, dengan menanggalkan segala bentuk praktek politik masa lalu yang hanya menyisakan ingatan kegelapan dan kehancuran.
Quo Vadimus?
Lantas, kita harus kemana? Quo vadimus? Sejarah bangsa ini adalah sejarah keterlibatan seluruh elemen bangsa dari semua suku, agama, ras, dan antargolongan.
Maka, membangun Indonesia harus berdasrakan prinsip keberagaman yang menjadi jiwa dari Pancasila dan UUD 1945 dalam membentuk fondasi idiil dan konstitusional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, dalam rangka menjaga dan mempertahankan keindonesiaan yang ada, kita perlu mengedepankan paradigma dan model politik yang berlandaskan penghargaan terhadap keberagaman, pengakuan dan penghargaan terhadap toleransi, dan optimism tentang masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pemilu pada hakikatnya adalah perayaan kemanusiaan—sebuah mekanisme demokrasi untuk merayakan hak politik rakyat dalam berbangsa dan bernegara, bukan sebuah peperangan yang menghancurkan dan menakutkan.
Untuk itu, masyarakat harus bersatu menolak segala bentuk propaganda dan narasi yang menebarkan ketakutan dan kebencian—sebaliknya kita harus bersatu padu dalam damai mengusung demokrasi yang berlandaskan kedamaian, kecintaan terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Selama rakyat bersatu, selama demokrasi dibangun dengan semangat persaudaraan, selama pemilu menjadi momen perayaan martabat kita sebagai “manusia”, Indonesia tidak akan pernah punah kapanpun dan oleh kekuatan apapun.
Selama Pancasila tidak dirongrong oleh paham ekslusif yang ingin mendirikan Negara Bersyariah, Indonesia akan tetap hebat dan berdiri kokoh selama-lamanya.
Jakarta, 21 Desember 2018