News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Ketika Ikan Bisa Menjadikan Anak Papua Menjadi Presiden

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala BNPB, Doni Monardo di kampung nelayan Hamidi, Jayapura – Papua, penghujung Maret 2019.

TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah lelaki Papua menabuh tifa, menyambut kedatangan Kepala BNPB, Doni Monardo di kampung nelayan Hamidi, Jayapura – Papua, penghujung Maret 2019.

Doni baru saja melakukan serangkaian kunjungan ke bumi Papua, dengan tujuan utama meninjau korban bencana banjir bandang di Sentani.

Kepala BNPB yang satu ini, terbilang orang yang memegang prinsip “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui”.

Sebuah pepatah yang dianggapnya pas untuk menangani persoalan bencana di Indonesia. Berulang kali ia menyebutkan, bahwa salah satu faktor terjadinya bencana adalah “kesalahan manusia”.

Baca: Kepala BNPB Doni Monardo: 99 Persen Kebakaran Hutan dan Lahan Dipicu Ulah Manusia

Dalam bahasa lain ia menyebut, jika manusia tidak menjaga alam, maka alam akan murka. Sebaliknya, jika manusia menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita.

Dalam konteks itu pula, Doni memanfaatkan waktu kunjungan ke Papua dengan serangkaian kunjungan lain.

Kampung nelayan Hamidi, adalah salah satunya. Ia merasa besar hati, demi melihat nelayan Hamidi berimpah ikan. Ia pun meyakini, mengonsumsi ikan, jauh lebih baik dibanding ayam atau daging lainnya.

“Catat ucapan saya. Kelak, akan muncul warga Papua yang menjadi Presiden Indonesia. Itu karena mereka sering makan ikan, sehingga otaknya cerdas. Di samping, mereka hidup dalam lingkungan yang bersih,” ujar mantan komandan paspampres itu.

Ia sudah mendengar kabar, tentang melimpahnya hasil nelayan Hamidi dalam beberapa bulan terakhir, terutama tangkapan ikan tuna.

Berkat itu pula, ekonomi masyarakat tumbuh sangat bagus.

Langsung-tak-langsung, itu berkat kedisiplinan masyarakat dalam menjaga alam.

Mereka tidak lagi menangkap ikan dengan bahan-bahan kimia, bom, dan potasium.

Di samping, larangan tegas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terhadap kapal-kapal penangkap asing mengeruk kekayaan laut Indonesia.

Doni bermurah hati, mengajak nelayan Hamidi untuk belajar dengan nelayan Ambon yang sudah mempraktekkan jurus jurus menangkap dan memproses tuna hingga ekspor.

Kata Doni, yang menjabat Pangdam Pattimura tahun 2015-2017, kini, nelayan di Ambon tidak perlu melaut jauh dari daratan.

Cukup sampai 30 meter dari pantai, mereka sudah bisa menangkap ikan. Dan yang utama mengikuti standar proses untuk ekspor ke luar negeri.

“Beberapa hari lalu saya bahkan mendapat kabar, salah satu prajurit Kodam Pattimura berhasil menangkap ikan kerapu seberat 25 kg. Bayangkan, harga kerapu seratus ribu ker kilogram, jadi hitung saja berapa harga kerapu itu,” kata Doni.

Soal Tuna, Doni Monardo agaknya tahu banyak. Ia mendengar informasi di Jepang, pasar tuna sangat bagus.

Di sana ada sebuah pasar yang menjual ikan tuna khusus dari Ambon. Tuna-tuna itu diproses dengan baik, lalu diterbangkan ke Tokyo. Di sana, tuna yellowfinn sangat diminati.

“Dan tuna yellowfinn juga banyak di laut Papua,” imbuh Doni seraya menambahkan, “jika nelayan mau menekuni industri tuna, saya yakin dalam waktu singkat neayan Hamidi akan sejahtera.”

Untuk itu, diperlukan pengetahuan cara menangkap tuna yang baik, memprosesnya dengan benar, hingga layak diekspor ke Jepang.

“Untuk tahap awal, barangkali perlu kita kirimkan nelayan Hamidi ke Maluku untuk belajar. Di sana nanti akan difasilitasi teman-teman TNI,” saran Doni penuh simpati.

Kepada warga Hamidi khususnya, dan masyarakat Papua umumya, Doni mengimbau untuk mengurangi makan daging ayam.

Terlebih, ayam-ayam potong yang didatangkan ke Papua, umumnya berasal dari Jawa. Itu artinya, tidak fresh. Sementara, ikan berlimpah di Papua.

Secara ilmiah, memakan ikan jauh lebih baik dibanding memakan ayam. Ikan mengandung semua protein yang dibutuhkan tubuh manusia, dan lebih dari itu, bisa meningkatkan kecerdasan.

Masohi dan Matoa

Selain bicara ikan, Doni juga menyinggung kekayaan hayati yang di tanah Papua.

Di bumi cendrawasih ini, tumbuh aneka jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ia menyebut ada meranti, keruing, merbau dan lain-lain.

Bahkan di Papua pula banyak pohon berdiameter lebih dari 1,5 meter.

“Disini juga ada pohon seperti yang tumbuh di Maluku. Antara lain pohon masoya atau biasa juga disebut masohi.

“Mungkin dulu-dulunya, dibawa dari Maluku Tengah,” kata Doni.

Sekalipun Doni meyakini pohon itu berasal dari Maluku, tetapi di Maluku justru sudah mulai langka.

Sebaliknya, di Papua sangat banyak. Masyarakat Maluku harus lebih menjaga pohon yang sangat bagus ini.

Ia juga mendukung budidaya pohon masohi, karena harga kulitnya yang lebih mahal dari kulit kayu manis.

“Hasil sulingan kulit masohi bisa berharga 600 US dolar atau sekitar sepuluh juta per kilogram. Doni bahkan menyebutkan bagaimana industri penyulingan minyak atsiri yang bahan bakunya didatangkan dari Indonesia Bagian Timur. Satu drum minyak atsiri harganya mencapai 1,8 miliar rupiah. Bayangkan, betapa Papua sangat kaya,” papar Doni antusias.

Seperti halnya gagasan mengirim nelayan Hamidi ke Maluku untuk mengolah tuna, maka Doni pun memiliki ide untuk mengirim anak-anak muda Papua belajar penyulingan ke daerah lain.

Jika itu terjadi, Doni yakin, dalam waktu beberapa tahun ke depan, Papua bisa menjadi sentra produksi atsiri terbesar di Indonesia. Selanjutnya, bisa lebih dikembangkan ke komoditi lain seperti cengkeh, pala, sriwangi, nilam, dan lain-lain.

Dari pohon, Doni Monardo berpindah ke buah. Ia menunjuk boah matoa sebagai kekayaan bumi Papua yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Ketika Doni mengunjungi lereng kawasan Gunung Cycloop di Papua, ia melihat banyak pohon buah matoa.

Terpikir olehnya, jika bisa dibudidayakan, maka dalam waktu tujuh sampai delapan tahun ke depan, buah matoa dipastikan akan menjadi hidangan Gedung Putih (Amerika Serikat), Istana Buckingham (Inggris), bahkan menjadi hidangan penutup Kaisar Jepang.

Buah matoa adalah buah langka yang sangat dicari. Ia layak dijuluki buah raja-raja. Rasanya sangat khas, kombinasi buah-buahan tropis sekaligus.

“Sayang, saya melihat ada yang salah. Saya dengar untuk memetik buah matoa, tak jarang masyarakat menebang sepohon-pohonnya. Ini sungguh sebuah kesalahan,” ujar Doni prihatin.

Betapa, Kepala BNPB begitu piawai, menggabungkan aktivitas pencegahan bencana melalui ajakan menjaga lingkungan. Bukan menjaga sembarang menjaga, melainkan menjaga dengan melakukan budidaya, yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tabik.

Laporan Egy Massadiah dari Bumi Cendrawasih

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini