Oleh, Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Dua pasangan calon presiden dan wakil Presiden (Capres-Cawapres) sudah memaparkan visi dan misi masing-masing di hadapan berbagai elemen masyarakat di semua pelosok tanah air.
Visi misi itu memberi gambaran tentang arah masa depan bangsa.
Kini, pilihan dan keputusan ada di tangan rakyat yang diekspresikan melalui hak memilih pada Rabu, 17 April 2019.
Baca: H-2 Pemilu 2019, Pemilih yang Tak Terdaftar di DPT Tetap Bisa Mencoblos, Ini Syaratnya
Debat kelima dalam agenda pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019 sudah terlaksana pada Sabtu, 13 April 2019. Debat kelima itu menandai berakhirnya masa kampanye Pilpres maupun kampanye pemilihan anggota legislatif (Pileg). Maka, tahun politik sekarang ini memasuki masa tenang, terhitung sejak Minggu, 14 April 2019.
Semestinya, berakhir sudah hiruk pikuk persiapan para kontestan Pilpres dan Pileg serta tim pemenangan masing-masing. Masa tenang itu menjadi kesempatan terakhir bagi semua warga negara yang berhak memilih untuk menetapkan pilihannya sebelum memasuki bilik atau tempat pemungutan suara (TPS).
Kesadaran menggunakan hak pilih bukan hanya penting, melainkan juga sangat diharapkan. Kesadaran menggunakan pilih itu, mau tak mau, harus dikaitkan dengan tantangan riel yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini.
Maka, pemahaman masyarakat tentang tantangan riel itu pun sangat diharapkan. Demi masa depan bangsa dan negara, masyarakat diharapkan peduli.
Dan kepedulian itu cukup direfleksikan dengan menggunakan hak pilih, sejalan dengan pertimbangan dan kehendak masing-masing.
Baca: 17 April Hari Libur Nasional
Kiranya, sebagian masyarakat sudah cukup memahami apa saja tantangan strategis yang sedang menyelimuti Bangsa Indonesia. Tentunya ada tantangan dari luar dan juga tantangan dari dalam. Apa saja masalah atau tantangan itu sudah sering dan banyak dipublikasikan, didiskusikan bahkan tak jarang jadi materi perdebatan.
Namun, salah satu contoh tantangan yang sudah direspons dengan sangat tegas oleh negara adalah ketika pemerintah, dengan segala risiko yang harus dihadapi, membubarkan sebuah organisasi yang diketahui hendak mengadopsi ideologi atau falsafah lain, sekaligus menolak NKRI.
Setelah tragedi 1965, Pancasila kembali menghadapi cobaan, setidaknya sepanjang dasawarsa ini. Tak hanya Pancasila, rongrongan juga harus dihadapi UUD 1945 serta lambang negara lainnya. Gorengan isu seputar SARA yang nyaris tak berkesudahan pun harus disikapi, karena dampaknya sudah nyata, yakni dalam bentuk terkotak-kotaknya masyarakat.
Sekelompok masyarakat, karena keterbatasan pengetahuan dan keawamannya, ditunggangi dan dicekoki dengan cara pikir dan cara pandang yang tidak lazim; membenci atau menista orang lain karena alasan perbedaan telah diterima sebagai sebuah kebenaran.
Rongrongan terhadap Pancasila dan UUD 1945 secara tidak langsung menjadi ancaman pula bagi demokrasi. Sebab, Indonesia yang demokratis seturut nilai-nilai luhur Pancasila sudah konstitusional. Kendati baru berusia sekitar dua dekade, demokrasi Indonesia terus bertumbuhkembang.
Baca: Jelang Libur Lebaran 2019, Kemenhub Uji Kelaikan Kapal Penumpang
Rakyat berdaulat, dan semua hak rakyat yang melekat pada setiap individu sesuai prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM) mendapatkan pengakuan dan penghormatan setinggi-tingginya dari negara. Bebas berbicara dan berekspresi, bebas berserikat hingga kebebasan menetapkan pilihan.
Apakah kekuatan atau komunitas yang menolak Pancasila dan UUD 1945 akan mau menghormati prinsip-prinsip HAM yang universal itu, ketika mereka berhasil tampil sebagai penguasa yang mengendalikan dinamika kehidupan di bumi nusantara ini? Tumbuhkembang demokrasi harus berkesinambungan, dan karena itu jangan biarkan kekuatan apa pun, dan atas nama apa pun, yang coba menarik mundur demokrasi Indonesia.
Sejak dulu hingga kini, selalu saja ada kekuatan yang menghendaki Indonesia pecah untuk berbagai alasan atau tujuan. Kekuatan asing mengincar kekayaan alam negara ini. Setelah Indonesia terpecah, lalu menjadi negara gagal karena rivalitas antargolongan atau kelompok.
Dan, di antara anak bangsa, ada keinginan mengubah bentuk negara kesatuan dan menolak prinsip Bhineka Tunggal Ika. Kekuatan dari dalam berkembang menjadi komunitas yang mampu memberi tekanan keras kepada pemerintah karena dukungan dari kekuatan luar pula.
Dengan begitu, tantangan eksternal tak hanya dalam wujud perlambatan pertumbuhan ekonomi global, melainkan juga dalam wujud perang proxy. Selain bertujuan memecah persatuan dan kesatuan anak bangsa, perang proxy juga menyasar generasi milenial Indonesia dalam bentuk serbuan narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba).
Baca: Masuk Kakbah Masjidil Haram, Jokowi: Aku Datang Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah
Sebagian generasi milenial sudah menjadi korban perang proxy melalui penyelundupan Narkoba yang masif.
Responsif
Pada saat yang sama, Indonesia harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Proses adaptasi menjadi keharusan agar generasi terkini dan berikutnya berkemampuan menjadi putera-puteri bangsa yang kompetitif dan punya kompetensi untuk melakoni dan merespons setiap perubahan.
Cara pikir dan cara pandang harus berubah sejalan dengan perubahan itu sendiri. Bukankah cara atau mekanisme kerja dalam proses produksi pun sudah berubah. Banyak pekerjaan tidak lagi butuh tenaga manusia karena digitalisasi.
Maka, seperti semua negara lainnya, Indonesia pun harus responsif dalam era Industri 4.0 sekarang ini. Untuk itulah ragam infrastruktur harus dibangun oleh negara demi kesiapan dan peningkatan kompetensi anak bangsa.
Orientasi bersama untuk merespons tantangan terkini dan tantangan masa depan itu harus terus terjaga dan terpelihara agar derajat kesiapan anak bangsa untuk berkompetisi dengan bangsa lain semakin baik dari waktu ke waktu.
Walaupun masih terdapat kekurangan di sana-sini, komunitas internasional telah mengakui bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang benar untuk merespons tantangan terkini dan tantangan di masa depan.
Pekerjaan besar yang masih harus dilakoni adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dan, negara sudah menetapkan program perbaikan kualitas SDM sebagai prioritas pada tahun mendatang dan seterusnya.
Itulah beberapa faktor atau tantangan yang akan memengaruhi masa depan bangsa. Ada tantangan terhadap eksistensi Pancasila, UUD 1945 serta keutuhan NKRI; ada potensi tantangan terhadap keberlanjutan demokrasi jika bentuk dan dasar negara diubah, serta tantangan riel di bidang ekonomi sebagai konsekuensi menapaki era Industri 4.0.
Semua tantangan itu jelas punya relevansi dengan penggunaan hak pilih yang melekat pada setiap warga negara dalam pemilihan umum serentak pada 17 April 2019. Setelah dua kandidat memaparkan rangkaian program selama masa kampanye dan lima kali debat, pandangan dan penilaian kini sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat.
Baca: FOTO-FOTO: Presiden Jokowi, Iriana, Gibran dan Kaesang Umrah hingga Masuk ke Dalam Kabah
Pertanyaannya sederhana saja; siapa yang paling siap dan paling realistis dalam menghadapi atau merespons semua tantangan riel itu? Agar tidak salah pilih, disarankan agar setiap individu bijaksana dan cerdas menggunakan hal pilih.
Bagaimana pun, Pemilu serentak 2019 ini patut dilihat atau dipahami sebagai momentum bagi semua warga negara memperkuat kesepakatan dalam merawat dan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia seturut nilai-nilai luhur Pancasila.
Pemilu 2019 juga menjadi momentum bagi warga negara untuk menetapkan arah dan orientasi pembangunan nasional. Itu sebabnya, partisipasi warga negara dengan menggunakan hak pilih masing-masing sangat diharapkan.