Oleh: Shinta Dewanti *)
SEJAK pesta demokrasi resmi diselenggarakan secara serentak pada 17 April lalu, rekapitulasi suara hasil pemilu 2019 masih tetap berjalan hingga final 22 Mei mendatang.
Mengingat persentase progres perhitungan rekapitulasi belum mencapai seratus persen, Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus dibebani beragam pertanyaan oleh pihak-pihak tertentu mengenai integritas serta independensinya.
Keraguan publik dimulai dari isu ditemukannya tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos, sebelumnya kisi-kisi pertanyaan debat capres dan cawapres yang diselenggarakan pertama kali pada 17 Januari lalu, dilanjutkan dengan drama kotak suara yang terbuat dari kardus, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya itu, polemik pendataan jumlah pemilih tetap yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu juga masih dianggap merugikan salah satu paslon capres dan cawapres, dilanjutkan dengan drama politik pasca pencoblosan setelah sembilan lembaga survey merilis hasil quick count-nya yang menunjukkan salah satu paslon unggul berdasarkan pengambilan sampel terhadap kurang lebih 2.500 TPS, hingga kasus tewasnya 554 orang yang terdiri dari petugas KPPS, panitia pengawas, dan aparat penegak hukum (polisi) selama penyelenggaraan pemilu.
Mengingat banyaknya kejanggalan yang ditemukan oleh salah satu paslon selama rangkaian proses pemilu, hal ini akan mempengaruhi legitimasi pemilu menjelang diumumkannya hasil real count oleh KPU pada 22 Mei mendatang.
Baca: Suasana Panas Jelang 22 Mei, Ini Langkah Pengamanan Polri Jaga Pengumuman Hasil Pemilu 2019
Ditambah lagi media pers hari ini masih dianggap tidak netral oleh sebagian masyarakat yang berujung pada semakin menurunnya public trust atas informasi-informasi yang diberitakan oleh media.
Selain itu, publik juga terus menuntut KPU untuk mengingat apa yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 maupun dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dimana sebagai penyelenggara pemilu seharusnya KPU maupun Bawaslu harus tetap berusaha menempatkan diri se-ideal mungkin.
Mengingat kedua lembaga tersebut belum menindaklanjuti secara keseluruhan terkait dengan tudingan-tudingan yang diarahkan terhadap mereka.
Berdasarakan Pasal 413 UU Nomor 07 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara paslon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan DPD paling lambat 35 hari terhitung sejak pemungutan suara digelar.
UU tersebut juga menyebutkan, untuk menetapakn perolehan suara paslon terpilih adalah yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari total suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Jika dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh kedua paslon, UU ini menegaskan perlunya dipilih kembali kedua paslon tersebut oleh rakyat secara langsung dalam pilpres.
Sementara, dalam peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 juga mengatur mengenai penetapan paslon terpilih, penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Sehingga, apapun yang menjadi keputusan KPU akan tetap sah secara konstitusional.
Mengenai adanya indikasi kecurangan yang ditujukan kepada salah satu paslon maupun terhadap penyelenggara pemilu, tidak dapat menjadi alasan untuk menolak legitimasi pemilu dengan cara inkonstitusional.
Baca: Relawan Jokowi-Maruf Tantang HRS dan Amien Rais Mubahalah Soal Tudingan Kecurangan Pemilu
Negara juga menyediakan jalur yang akan ditempuh oleh pihak peserta pemilu terkait dengan proses penyelesaian masalah dalam pemilu. Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana.
Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui peraturan KPU, dan selisih hasil perolehan suara juga telah diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara umum, pelanggaran diselesaikan oleh Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu.
Gerakan People Power
Ada yang menarik dari proses penyelesaian sengketa pemilu tahun ini, yaitu dengan tidak menempuh melalui prosedur administrasi yang sah melalui MK, alih-alih dengan cara menggerakkan people power.
Secara sederhana, people power dapat dipahami sebagai bentuk penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi demonstrasi rakyat.
Gerakan tersebut juga didasarkan untuk melawan bentuk ketidakadilan yang terjadi di masyarakat dimana kekuasaan berada di tangan pemerintah.
People power juga disebut sebagai bentuk kesadaran masyarakat yang muncul karena sesuatu yang diberikan oleh penguasa tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Gerakan ini pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1986 yang mengacu pada revolusi sosial yang dilakukan rakyat untuk melawan Presiden Ferdinan Marcos yang telah berkuasa selama 20 tahun.
Di lain sisi, people power juga dapat dipahami dengan melihat ketika seluruh masyarakat Indonesia berbondong-bondong mendatangi TPS dengan berpartisipasi dalam menjamin penyelenggaraan pemilu serentak secara aman, tentram dan damai.
Partisipasi Masyarakat
Demokrasi menurut keyakinan kita sejauh ini masih menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik dari yang ada, tanpa menafikkan akan dampak (yang dianggap) negatif dan positif.
Keutuhan NKRI yang sudah sejak lama bangsa ini cita-citakan, tidak seharusnya dipertaruhkan untuk dipecah belah hanya karena penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan.
Baca: Hendropriyono: Target Mereka Bukan Saya atau Pak Jokowi Tapi Sasarannya Ingin Hancurkan NKRI
Hal ini menjadi tugas kita bersama dalam menunggu keputusan KPU berdasarkan konstitusi yang mana merupakan jalur yang telah kita pilih bersama dalam melaksanakan pemilu, atau dalam hal ini menentukan pemimpin.
Pengawalan kita sebagai masyarakat juga tidak seharusnya berhenti pada akhir keputusan penetapan paslon terpilih, tetapi juga mengawal selama proses pemerintahan yang akan berlangsung lima tahun ke depan dalam membangun bangsa dan negara yang kita cita-citakan.
*) Mahasiswi Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Malang