Oleh Amir Faisal
Pendiri The Atjeh Connection Foundation
TRIBUNNERS - Menyeruaknya wacana referendum Aceh, belakangan, sesungguhnya menampilkan potret buram hegemoni politik yang berlangsung di tanah Rencong.
Kepentingan di balik wacana referendum saat ini juga bukan lagi merepresentasikan tuntutan etnisitas yang terjadi beberapa dekade silam.
Aspirasi politik ini, mencuat secara insidental disertai faktor-faktor politik elektoral. Sehingga, jelas, wacana tersebut tidak mewakili segenap lapisan masyarakat Aceh.
Wacana referendum ini kembali mengapung setelah Muzakir Manaf atau Mualem, ketua Partai Aceh sekaligus bekas panglima GAM (Gerakan Aceh Merdeka) melontarkannya di tengah peringatan semblan tahun meninggalnya Proklamator GAM Hasan Tiro.
Baca: Daftar Rute Bus TransJakarta yang Terintegrasi Stasiun LRT Jakarta
Baca: Ratna Sarumpaet Dapat Surat Pengantar Rujukan ke Rumah Sakit
Baca: Irfan Seventeen Dilaporkan Suami Citra Monica dengan Tuduhan Perselingkuhan
Baca: Dikira Tumor, Dokter Keluarkan Gigi yang Tumbuh di dalam Buah Zakar Anak Ini
Ia beralasan, banyak kesepakatan yang tidak diberjalan pasca Nota MoU Helsinki ditandatangani. Mualem juga mengatakan Indonesia sekarang sedang di ambang kehancuran. Ketidakpastian politik dan ketimpangan ekonomi juga disebutnya sebagai salah satu alasan referendum.
Pernyataan Mualem ini berpotensi memicu keresahan masyarakat. Gagasan referendum juga dapat membangkitkan trauma pasca konflik hinggap kembali di pikiran masyarakat Aceh.
Padahal, masyarakat Aceh kini tengah menikmati kondisi reintegrasi. Setelah perjanjian damai Helsinki, situasi juga relatif damai.
Oleh karena itu, sangat tidak wajar, jika seorang tokoh publik di Aceh malah mengeluarkan wacana yang menggelisahkan sekaligus memancing kontroversi.
Wacana referendum kali ini sebenarnya sangat tidak relevan jika dikaitkan dengan situasi politik di bumi Serambi Mekah.
Pasalnya, wacana ini tidak muncul dari aspirasi kalangan akar rumput. Selain itu, referendum juga tidak mewakilkan hak-hak demokrasi.
Menurut Rizal Mallarangeng, dalam tulisannya yang berjudul, Aceh, Ujian Pertama dan Terakhir (1999) referendum hanyalah hak yang sifatnya konvensional dengan latar konteks sosio-politik, serta tidak mewakili hak individu manusia.
Ketidakrelevanan lain, problematika etno-nasionalisme Aceh juga telah selesai lantaran pemerintah RI (Republik Indonesia) sudah memberikan otonomi khusus bagi masyarakat Aceh. Persoalan etno-nasionalisme ini, juga sudah direkonsiliasi dengan cara-cara demokratis.
Pemerintah RI, menyelesaikannya seperti anjuran Harold R. Issacs, ”mengembalikan rasa memiliki dan harga diri.” Belasan tahun di bawah Daerah Operasi Militer (DOM) tentu mencabik-cabik moral kolektif masyarakat Aceh, dan otonomi khusus NAD merupakan pengembalian terbaik dari pemerintah RI.