Di situasi seperti ini, jarak antara elit dengan massa di Aceh terlihat menganga lebar. Bahkan di kalangan elit lokal sendiri terjadi perbedaan pendapat mengenai referendum.
Retorika mengenai ekonomi, dan kehancuran Indonesia pada dalih-dalih Mualem memperlihatkan elit politik pro-referendum ingin menggunakan politik ketakutan ke tengah masyarakat. Bisa jadi, ini semacam upaya pemaksaan relevansi bagi aspirasi parokial yang mencuat.
Nampaknya efek penggunaan politik identitas pada Pemilihan Presiden 2019 lalu menjangkau sampai ke persoalan referendum ini. Penanda-penanda baru selain agama kembali muncul di ruang publik.
Polemik referendum menunjukkan bahwa konsensus rasional hasil Perjanjian Helsinki diabaikan lewat retorika-retorika serampangan. Politik identitas kembali muncul membawa hegemoni politik yang menjelma sebagai wadah politik parokial.
Kondisi semacam ini tentu mencemaskan bagi kesatuan nation-state Indonesia. Komitmen Keindonesiaan yang telah lama terjalin harus goyah akibat politik elektoral.
Di titik ini otentisitas semakin jarang ditemui. Realitas sosial ditarik dari realitas politik. Begitu pula sebaliknya. Hegemoni-hegemoni yang memunculkan polemik ke arah disintegrasi memang memampatkan daya hidup masyarakat. Namun, hegemoni bisa berwujud apa saja, bahkan dalam sosok yang mengaku berjuang untuk otonomi.