Oleh: Akbar Faizal
TRIBUNNEWS.COM - Ini cerita tentang Rio de Janeiro, ibukota Brasil, negeri yang menjadikan sepakbola seperti agama kedua.
Tapi bukan tentang Messi yang menuding Conmebol (Badan Sepakbola Amerika Selatan) sebagai organisasi korup setelah Argentina kalah 2-0 dari Brasil di semifinal Copa 2019.
Juga bukan tentang ketegangan saya menonton final dari tribun level 3 Stadion Maracana Rio de Janeiro saat Brasil menang 3-1 atas Peru.
Bukan sebuah pertandingan yang hebat memang meski kedua tim dipenuhi pemain bintang semisal Coutinho di Barcelona, Firmino di Liverpool atau Gabriel Jesus di Manchester City.
Gol pertama Brasil di menit ke-15 terlalu textbook saat Firmino mengirim umpan sejajar dari rusuk kiri pertahanan Peru kedepan mulut gawang dan diselesaikan dengan boli oleh Everton Sousa.
Saya tak tahu Everton bermain di klub mana.
Tapi anak-anak Juku Eja PSM Makasar bisa melakukannya dengan teknik yang sama meski gaji Firmino di Liverpool untuk seminggu bisa senilai gaji pemain PSM selama 2,5 tahun.
Tapi saya tetap bersorak segirang perempuan cantik bertubuh penari Samba yang duduk sejajar denganku. Cukup tentang bolanya.
Kembali ke soal Rio de Janeiro, kota berpenduduk 7 juta yang menderita karena Pichacao (baca: Pisyasao), grafiti yang mencoreti apapun yang berbentuk dinding di semua sudut kota.
Vandalism ala Rio ini membuat kota yang sebenarnya indah karena dijilati pantai Copacabana yang masyhur atau Pantai Ipanema yang terkenal sejak Antonio Carlos Jobim menulis lagu pada tahun 1960 dalam judul asli 'Garota de Ipanema' (gadis dari Ipanema) yang lalu mendunia setelah Frank Sinatra menyanyikannya dan mendapatkan Grammy pada 1965 dalam versi Inggris, The Girl From Ipanema.
Sedikit kisah tentang lagu ini, seorang gadis muda berusia 15 tahun bertinggi badan 173 cm bermata hijau dengan rambut panjang hitam terurai bernama Heloisa Eneida Menezes Paes Pinto tinggal di Jalan Montenegro distrik Ipanema.
Setiap hari Heloisa berkeliaran di kawasan yang banyak kafe dan menarik perhatian Jobim dan Morales, dua pengunjung tetap sebuah kafe. Baik saat pergi ke sekolah atau ketika muncul sekadar membeli rokok untuk ibunya.
Helo terlalu cantik hingga Jobim menulis begini,"e um dom da vida em seu lindo e melancolico fluir e refluir constante. -Ini adalah karunia kehidupan dalam gelombang pasang dan surut yang teratur, cantik dan melankolis”.