Oleh Prof. Taruna Ikrar
Indonesia merupakan Negara yang sangat besar dengan luas wilayah yang membentang dari antara dua samudera (Samudara Pasifik dan Hindia) serta berada diantara dua benua (Benua Asia dan Australia) dan terdiri dari lebih 17ribuan pulau, dan didiami oleh ratusan etnis atau suku yang berbicara dalam banyak bahasa yang berbeda-beda. Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam tahap perkembangan yang positif dan layak diapresiasi. Pendapat ini merujuk beberapa realitas politik seperti pelaksanaan pemilu yang demikian berkembang mulai pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya pada tingkat nasional, yang berlangsung relatif aman dan terkendali, tanpa menimbulkan gejolak atau kekerasan dan tidak membawa kekacauan.
Selanjutnya dari segi ekonomi, juga mengalami kemajuan yang luarbiasa. Bahkan Indonesia akan menjadi perekonomian keempat terbesar dunia pada 2050, melonjak dari posisi kedelapan pada 2016. Sebelum sampai pada posisi itu, Indonesia akan berada pada posisi kelima pada 2030. Prediksi ini ditulis oleh satu perusahaan konsultan terkemuka dunia, Price Waterhouse Coopers (PWC), yang antara lain mengutip data dari Dana Moneter Internasional (IMF). Menurut PWC, pada 2016 Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar US$3 triliun, dan akan melonjak menjadi US$5,4 triliun pada 2030 dan US$10,5 triliun pada 2050. Pada 2030 perekonomian Indonesia akan menggeser posisi Rusia dan Brazil, dan pada 2050 akan menggeser posisi Jepang. Tiga negara yang akan lebih besar dari Indonesia berturut-turut adalah China, India, dan Amerika Serikat.
Baik dari segi demokrasi dan ekonomi, demikian pula dalam semua sektor kemajuan Indonesia, sangat ditentukan oleh kepemimpinan. Olehnya untuk menggapai kemajuan pesat tersebut dibutuhkan pemimpin yang hebat. Kepemimpinan Indonesia dapat dilihat dalam perpektif neurosains yang disebut Neuroleadership.
Growth Mindset
Fakta ilmiah ini memberi harapan baru di hampir seluruh lini hidup manusia, termasuk dalam dunia kepemimpinan. Jika satu individu bisa belajar dan berkembang tanpa batas, demikian halnya sebuah komunitas, organisasi, atau bahkan sebuah bangsa. Maka jika pada prolog kami menyebut “alasan untuk optimistis”, di sinilah terletak argumen ilmiahnya yang paling mendasar. Jika satu individu bisa berubah dan berkembang menjadi lebih baik, tak pelak lagi, sebuah komunitas, organisasi, atau bangsa juga bisa berubah ke arah yang lebih baik. Persoalannya adalah, apakah komunitas atau organisasi menyadari kemungkinan itu, dan apakah mereka tahu kemana perkembangan akan diarahkan.
Bagi dunia leadership, persis pada yang terakhir ini terletak tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi seorang leader (mestinya) menyadari potensi perubahan dan perkembangannya, tetapi di sisi lain dia harus mampu menyadarkan seluruh pihak dalam komunitas atau organisasinya, baik tentang potensi maupun arah perkembangannya. Dari sinilah kemudian muncul imperatif besar: ayo berkembang, ayo bertumbuh, ayo berjalan menuju sasaran. Banyak leaders yang kemudian semacam mantra baru, yakni bahwa untuk bisa mengakselerasi perubahan dan perkembangan, semua pihak perlu memiliki pola pikir bertumbuh. Semua orang perlu yakin bahwa mereka memiliki peluang tumbuh dan berkembang tanpa batas.
Di sinilah seorang leader berhadapan dengan mentalitas pribadi-pribadi yang dipimpinnya. Mentalitas itu tercipta dari pengalaman, pendidikan, sejarah hidup, dan lingkungan. Dalam realitas memang ada orang-orang yang memiliki mentalitas dan pola pikir bertumbuh (growth mindset). Mereka adalah orang-orang yang optimis melihat masa depan, karena yakin bahwa masa depan yang lebih baik bisa diperjuangkan bersama. Tetapi sebaliknya ada juga orang-orang yang “merasa sudah jadi”. Mereka selalu mengklaim “saya ya seperti ini.” Mereka tidak mau berubah dan selalu berkilah “saya punya prinsip.” Orang seperti ini cenderung tertutup terhadap aneka kemungkinan baru (fixed mindset).
Kalau di sini dipakai istilah “cenderung”, karena pada dasarnya tidak ada orang yang 100% berpola pikir bertumbuh atau 100% berpola pikir tetap. Catatan ini perlu dikemukakan karena banyak leaders yang berpikir begitu. Bahkan banyak yang berpikir bahwa pembagian itu sedemikian mekanistis sehingga bisa dilakukan proses switch dari fixed mindset ke growth mindset. “Kalau bisa begitu memang semuanya jadi mudah,” kata David Rock, pendiri NeuroLeadership Institute. “Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Dalam diri seseorang ada baik fixed-mindset maupun growth-mindset. Bahwa Anda begitu yakin bisa belajar menyetir mobil tetapi pada saat yang sama yakin tidak akan bisa bermain biola membuktikan bahwa kedua mindset itu ada dalam diri Anda.”
Memimpin Transformasi
Tampaknya David Rock benar. Dalam diri setiap manusia terdapat baik kecenderungan untuk tak mau berubah maupun kecenderungan untuk berubah. Ini menyangkut baik sikap mental maupun cara berpikir (mindset). Tetapi pada saat yang sama kita menyadari bahwa mentalitas dan pola pikir bertumbuhlah yang akan membawa kita pada realitas baru yang kita impikan, yakni realitas baru Indonesia maju. Di sanalah terletak tugas seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus mampu (1) menyadarkan orang tentang perlunya hijrah dari fixed mindset menuju growth mindset, dan (2) harus mampu memimpin hijrah itu sendiri.
Menggunakan terminologi hijrah, dalam neuroleadership ada satu “situasi jahiliah” yang perlu disadari dan dipikirkan. By default manusia akan bekerja dengan otak emosinya; dengan reptilian-brain-nya. Ketika mengambil keputusan atau merespon sesuatu, pertama-tama yang akan muncul adalah logika emosinya. Ketika harus memilih makanan, minuman, teman, pasangan hidup, bahkan pilihan politik, pertimbangan yang pertama muncul adalah manakah yang menyenangkan hati; mana yang lebih memuaskan. Proses pemilihan lebih didasarkan pada faktor suka atau tidak suka. Alasan rasional biasanya baru menyusul kemudian, lebih sebagai alat pembenar.
Yang terakhir ini bukan penemuan yang terlalu baru. Sudah lama para pembuat iklan, perancang kampanye politik, dan para negosiator bisnis memanfaatkan fakta itu. Dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka memengaruhi kelompok sasaran untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu, sehingga kemudian mudah diarahkan pada keputusan tertentu. Lihat saja iklan-iklan rokok yang justru mentertawakan bahaya merokok. Justru lelucon itu yang kemudian menyebar dan menciptakan deep connection antara masyarakat dengan produsen rokok. Atau contoh yang lebih mendunia, bagaimana Cambridge Analytica, yang mampu “menaklukkan” masyarakat yang berpikir maju seperti Inggris dan Amerika, hingga Brexit dan Trump menang atas lawannya.
Otak emosi adalah bagian otak yang paling purba. Dia ada pada binatang yang paling primitif, yakni kelompok reptil. Itu sebabnya otak emosi disebut dengan reptilian brain. Secara umum dia bekerja untuk tujuan survival. Karena itu dia hanya melihat segala sesuatu dari dua sisi: ancaman atau kesempatan. Kalau dalam dunia motivasi kita mengenal istilah reward dan punishment, sesungguhnya yang sedang dieksploitasi dalam proses motivasi itu adalah otak reptil seseorang. Dan fakta brutal yang kita hadapi adalah bahwa sebagian besar manusia mendasarkan keputusannya pada otak emosi ini. Orang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena takut terjadi sesuatu yang buruk atau membahayakan, atau demi mendapatkan sesuatu.