Padahal manusia, atau kelompok homo sapiens, memiliki otak modern, yakni otak sadar atau otak berpikir. Betapapun secara volume bagian ini kecil, otak sadar inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Otak inilah yang membuat orang memiliki kesadaran diri; membuat orang bisa memiliki sistem nilai; bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik; bahkan bisa membuat orang berpikir transenden, memikirkan hal-hal yang melampaui apa yang tertangkap oleh indra. Otak modern membawa orang ke tahap waskita dan bijaksana.
Modernitas Berpikir sebagai Budaya
Karena itu kata kunci dalam neuroleadership adalah: hijrah. Pada kesempatan pertama neuroleadership bukan soal bagaimana seorang leader mengubah mereka yang dipimpin, melainkan mengubah dirinya sendiri. Neuroleadership harus berangkat dari kesadaran bahwa dia sendirilah yang harus lebih dulu melakukan hijrah atau transformasi. Dia harus terlebih dulu bersikap kritis terhadap mentalitas dan pola pikirnya. Dia harus menyadari sejauh mana dia masih berpola pikir fixed, dan sejauh mana sudah berpola pikir growth. Dia juga harus mulai mengenali diri sendiri, sejauh mana reptilian brain masih membelenggunya, dan sejauh mana hidupnya sudah dipimpin oleh kesadaran dan sistem nilai.
Hanya ketika sudah mampu mentransformasi diri, seorang leader berpeluang untuk membantu tribe-nya untuk juga bertransformasi; untuk meninggalkan pola pikir fixed dan mengadopsi pola pikir growth; untuk hijrah dari reptilian brain ke human brain, dari otak emosi ke otak sadar, dari kecenderungan impulsif ke kerelaan berkontemplasi.
Namun perlu segera disampaikan satu catatan di sini, transformasi di ini bukan berarti meninggalkan dan mengabaikan yang lama. Bagaimanapun otak emosi tetap ada dalam diri kita, dan ada di sana untuk sebuah tujuan. Manusia tetap membutuhkan rasa takut, rasa cemas, stress, sedih, haru, gembira, bahagia, sukacita dan sebagainya. Transformasi atau hijrah di sini lebih dalam arti kita harus lebih mampu mengontrol; kita harus mampu menggunakan seluruh bagian otak dengan bijaksana, dengan cerdas.
Dalam alur berpikir itulah visi Indonesia Maju bisa ditempatkan dan didiskusikan. Visi Indonesia maju adalah soal membangun dan membawa Bangsa Indonesia lebih “cerdas otak”. Ini adalah soal bagaimana kita membangun bangsa yang cerdas emosi; bangsa yang mampu mengolah emosinya, sehingga menjadi bangsa yang hangat, yang ramah, bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kita harus membawa bangsa ini sebagai bangsa yang cerdas emosi, cerdas sosial. Pada saat yang sama kita sebagai bangsa juga harus semakin “cerdas prefrontal cortex”. Pada tingkat kesadaran kita harus menjadi bangsa yang semakin bijaksana dan waskita, dan pada sisi pemikiran kita harus menjadi dan semakin unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Aplikasi Neuroleadership
Leadership diibaratkan seperti sebuah kelompok dalam perjalanan yang membutuhkan komando. Kemudian muncul salah seorang yang berinisiatif melakukan rekayasa dan diikuti oleh yang lain. Banyak orang beranggapan bahwa kepemimpinan adalah sebuah seni yang membutuhkan keterampilan khusus. Keterampilan tersebut dapat berupa kemampuan untuk mengelola sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dengan demikian seorang pemimpin akan dapat menentukan arah yang tepat dan bertanggung jawab atas apa yang ia putuskan.
NeuroLeadership merupakan ilmu yang menggabungkan kepemimpinan dan fungsi otak. Seperti halnya otak yang tercipta sebagai penentu kebijakan, seperti itu pula otak akan dimintai pertanggungjawaban. Leadership membentuk tanggung jawab dari proses pengambilan keputusan.
Dalam proses pengambilan keputusan, terjadi berbagai gejolak emosi merupakan proses interaksi yang amat menarik di otak. Tentu ada risiko baik dan buruk, namun yang lebih penting dari itu adalah ke mana kepemimpinan itu bermuara. Pada akhirnya kepemimpinan adalah bentuk pertanggungjawaban dunia dan akhirat.
Proses pengambilan keputusan itu secara sistematis bermula dari otak tengah yang terstimulasi ke otak depan, kemudian dari otak depan muncul kebijakan yang diteruskan menuju otak belakang. Yang diharapkan dari proses ini adalah munculnya kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar win-win solution itu tercapai?
Dibutuhkan kepekaan pemimpin dalam melakukan analisis sebelum mengambil keputusan. Kepekaan itu didasarkan atas berbagai variabel: apakah ini yang dibutuhkan, apakah ini yang diharapkan banyak orang, apakah ini baik untuk organisasi, apakah ini bermanfaat, serta apa risiko dari keputusan ini?
Untuk itu seorang pemimpin memerlukan pengalaman yang panjang dan pengetahuan yang luas. Semakin panjang pengalamannya dan semakin luas pengetahuannya, maka semakin mampu ia mengaitkan dan menghubungkan saraf-saraf otak dan batinnya untuk menyatu dalam mengambil keputusan. Sehingga keputusannya pun menjadi akurat.
Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu baik itu faktor akademik, kultural, maupun teologi keagamaan. Hal ini berkaitan erat dengan kearifan lokal yang ada di Indonesia, di mana setiap pemimpin diharapkan mampu membaca kebutuhan alam dan menyatu dengan alam. Itulah hal yang tak dimiliki makhluk lain di muka bumi, mengubah lingkungan. Hanya manusia yang mampu memperbaiki atau merusak lingkungannya, kemudian mengembangkan, atau justru memusnahkannya.