Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - "Menjadi Samurai adalah mengabdi pada seperangkat moral dan mencari keheningan untuk berpikir jernih."
Gelombang aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lain, termasuk pelajar, di seantero negeri yang diwarnai kericuhan terus mengepung Presiden Joko Widodo dari segala penjuru.
Mereka mendesak pembatalan sejumlah revisi Undang-Undang (UU), terutama UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah terlanjur disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pun Rancangan UU Pemasyarakatan yang akan menggantikan UU No 12 Tahun 1995, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan menggantikan UU No 1 Tahun 1946.
Setelah terdesak, DPR terpaksa menunda pengesahan kedua revisi UU terakhir ini, dan Presiden Jokowi pun mempertimbangkan untuk membatalkan revisi UU KPK dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
Sejauh ini Polri telah menetapkan 55 orang sebagai tersangka demo ricuh di seluruh Indonesia, 49 tersangka di antaranya di Jakarta.
Ditambah kerusuhan yang berulang kali terjadi di Papua, serta kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan yang tak kunjung dapat dipadamkan, Presiden Jokowi pun kewalahan, sehingga Menkopolhukam Wiranto sampai perlu menyampaikan permakluman, kalau tidak bisa disebut apologia, bahwa saat ini Jokowi sedang dalam kesulitan.
Patutkah Presiden mengeluh? Ternyata Presiden juga manusia biasa, bukan Superman atau Gatotkaca.
Kita kemudian teringat “The Last Samurai” (Samurai Pamungkas), film drama perang Amerika Serikat yang disutradarai Edward Zwick dengan tokoh protagonis Tom Cruise, dan tayang perdana di Tokyo, Jepang, 22 November 2003.
Film ini berkisah tentang perjalanan hidup mantan tentara Angkatan Darat AS Kapten Nathan Algren yang diperankan Tom Cruise.
Kapten Nathan sempat mengalami kekalahan dalam perang dan terluka parah karena kurang persiapan dan pasukannya lemah menghadapi laskar Samurai.
Dilanda frustrasi dan berharap mati, ternyata ia hanya ditawan oleh laskar Samurai yang dipimpin Katsumoto.
Berkat kebaikan Katsumoto, dan juga akibat ketekunannya dalam belajar dan berlatih bahasa dan budaya Jepang serta Samurai, Nathan pun tumbuh menjadi seorang kstaria Samurai yang kemudian sempat menyelamatkan hidup Katsumoto bahkan meyakinkannya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan, dan bergabung dengan para Samurai dalam pertempuran pamungkas hidup atau mati.