News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

BPK Rasa Partai Politik

Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wapres Jusuf Kalla saat memberi ucapan selamat kepada anggota BPK yang baru dilantik di Gedung MA, Kamis (17/10/2019).(KOMPAS.com/Deti Mega Purnamasari)

Emerson Yuntho
Pegiat Antikorupsi, Wakil Direktur Visi Integritas

TRIBUNNEWS.COM - Di tengah riuh aksi unjuk rasa menentang sejumlah Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis (26/9) lalu mengesahkan lima anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) periode 2019-2024.

Empat dari lima anggota yang terpilih berasal dari partai politik (parpol). Mereka adalah Pius Lustrilanang dari Gerindra, Daniel Lumban Tobing dari PDIP Perjuangan, Achsanul Qosasi dari Partai Demokrat, dan Harry Azhar Aziz dari Partai Golkar. Satu-satunya anggota terpilih non partai yaitu Hendra Susanto yang berasal dari internal BPK.

Baca: 2 Pegawai BPK Kembalikan Uang Suap Proyek SPAM Sebesar Rp 700 Juta Kepada KPK

Baca: Sesmenpora Minta Pegawai Kemenpora Patuhi Permintaan BPK

Proses seleksi calon anggota BPK banyak mendapat kritik. Mulai dari proses yang tidak transparan hingga mayoritas pendaftar merupakan politisi Senayan yang gagal dalam pemilihan legislatif April 2019 lalu.

Kerisauan bahwa BPK ditempati oleh orang yang tidak kompeten sesungguhnya juga sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada pimpinan DPR. Usulan Sri Mulyani agar anggota BPK sebaiknya dari non parpol tentu saja ditolak mentah-mentah oleh DPR.

Menjadikan BPK sebagai lembaga negara yang bebas dari kepentingan politik, nampaknya sulit terwujud mengingat Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK (UU BPK) menyebutkan anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah. Proses pemilihan anggota BPK hanya dilakukan oleh DPR tanpa pelibatan dari panitia seleksi yang independen atau yang dibentuk oleh pemerintah.

Syarat untuk menjadi anggota BPK juga dinilai sangat normatif dan tidak seketat menjadi calon pimpinan KPK. Dalam UU BPK tidak tercantum syarat bukan merupakan pengurus salah satu partai politik atau tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Regulasi juga tidak mensyaratkan seorang calon anggota BPK harus memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidang audit atau keuangan. Dengan syarat-syarat yang normatif tersebut berakibat banyaknya politisi, figur bermasalah atau tidak berintegritas dan tidak kompeten yang kemudian mendaftar sebagai calon anggota BPK.

Terpilihnya mayoritas anggota BPK dari kalangan parpol pada akhirnya menimbulkan keraguan dan kekhawatiran banyak pihak tentang masa depan lembaga auditor negara ini. Pemilihan yang baru saja terjadi memunculkan kesan adanya upaya parpol untuk mengusai BPK atau bagi-bagi kursi anggota BPK di kalangan politisi. BPK lalu dianggap sebagai tempat penampungan bagi anggota DPR yang gagal terpilih kembali di parlemen.

Jika lembaga auditor negara ini sudah dikuasai oleh parpol maka lembaga ini akan sulit mewujudkan misinya dalam melaksanakan tata kelola organisasi secara berintegritas, independen dan professional.

Padahal kedudukan BPK sangat strategis dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. BPK juga merupakan lembaga yang menilai atau menetapkan jumlah kerugian keuangan negara khususnya dalam perkara korupsi.

Dominasi politikus di BPK juga akan mempengaruhi independensi lembaga ini pada saat melakukan pemeriksaan terhadap institusi DPR. Hasil audit BPK rentan diselewengkan untuk melindungi atau menjatuhkan seseorang berdasarkan pesanan partai politik tertentu. Konflik kepentingan dan objektifitas hasil audit BPK juga akan selalu menjadi pertanyaan ketika melakukan pemeriksaan maupun penghitungan kerugian keuangan negara yang melibatkan politisi atau petinggi partai.

Kekhawatiran adanya intervensi politik terhadap hasil audit atau pemeriksaan BPK bukan tanpa alasan. Pada tahun 2013, muncul dugaan intervensi atas “hilangnya” nama 15 anggota DPR dalam audit BPK untuk skandal proyek hambalang.

Padahal sebelumnya dalam salinan dokumen audit yang beredar di kalangan jurnalis terdapat inisial 15 anggota DPR yang diduga memuluskan anggaran tambahan untuk proyek Hambalang senilai Rp 600 miliar.

Lalu pada Mei 2016 sempat beredar adanya temuan BPK tentang kunjungan kerja fiktif anggota DPR dan berpotensi merugikan negara hingga Rp 945 miliar. Setelah ramai diprotes anggota DPR, Harry Azhar Aziz Ketua BPK kemudian meralat temuan tersebut dan menyatakan hanya masalah administrasi semata.

Terpilihnya anggota BPK asal parpol tentunya jadi tantangan berat bagi perbaikan citra lembaga ini dimata publik. Apalagi BPK baru saja dirundung masalah setelah Rizal Djalil anggota BPK yang berasal dari Partai Amanat Nasional ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Rizal disebut menerima suap dari pihak swasta terkait dengan proyek sistem pengadaan air minum di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Sebagai upaya perbaikan, masa mendatang mekanisme proses seleksi dan persyaratan menjadi anggota BPK perlu diperbaiki melalui revisi terhadap UU BPK. Proses seleksi calon anggota BPK sebaiknya dilakukan oleh panitia seleksi yang independen dan dilaksanakan secara transparan serta akuntabel. Agar mendapatkan anggota BPK yang independen, kompeten, profesional dan berintegritas sebaiknya ditambahkan syarat untuk calon yaitu tidak pernah menjadi anggota atau pengurus partai politik, berpengalaman dalam bidang audit dan keuangan minimal 15 tahun dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela atau melanggar etika.

Demi menjaga marwah BPK dari tindakan yang mencoreng citra lembaga maka pengawasan di internal BPK harus diperketat. Kode etik bagi pegawai dan pejabat di lingkungan BPK sebaiknya dikaji ulang untuk menutup celah terjadinya perbuatan koruptif maupun tidak pantas lainnya. KPK juga perlu dilibatkan untuk membuat program mencegah pegawai atau anggota BPK kembali tersandung masalah korupsi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini