Tanggal 27 Oktober, jumlah santri semakin bertambah. Mereka berduyun-duyun sembari meneriakkan ‘Allahu Akbar’. Tentara Indonesia baru ikut bergabung keesokan harinya tanggal 28 Oktober. Gabungan santri-tentara ini berhasil membunuh 1000 pasukan Ingris. Tanggal 29 Oktober 1945, perang belum berakhir. Kesepakatan damai antara Presiden Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta dan tentara Ingris baru tercapai di tanggal 30 Oktober 1945.
Resolusi Jihad belum dicabut, dan karenanya santri terus menembak. Tanggal 30 Oktober, Brigadir Jenderal Mallaby mati digranat dalam mobilnya saat melintas di Jembatan Merah. Inggris merasa dikhianati sehingga mengeluarkan ultimatum, “jika sampai 9 November jam 6 sore pembunuh Jendral Mallaby tidak diserahkan, maka tanggal 10 November jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir.”
Menjawab ultimatum tersebut, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari tanggal 9 November jam setengah 4 sore mengatakan, “fardhu a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari kota Surabaya untuk membela kota Surabaya.” Pecahlah perang 10 November yang kita akui bersama.
Tetapi, rentetan sejarah yang menunjukkan peran besar santri semacam itu dihapus dalam pelajaran sejarah. Tidak akan anda temukan dalam bacaan sejarah anak SD/SMP/SMA. Inilah korupsi sejarah yang kita ratapi.
Tentu saja, mengutuk kegelapan jauh lebih meletihkan dibanding dengan menyalakan lilin. Karenanya, Peringatan Hari Santri tahun ini harus menjadi dorongan moril, religius, dan intelektual agar semua santri-santri di seluruh tanah air mulai berkarya. Menulislah tentang sejarah diri kalian masing-masing dengan ketulusan dan kejujuran untuk mengabdi pada bangsa dan negara.
Pengabdian kepada bangsa dan negara dapat dimulai dengan jujur berkata tentang siapa jati diri kita yang sesungguhnya. Intelektual sekaligus ustad-ustad muda seperti Ahmad Baso, Aguk Irawan, dan lainnya cukup membanggakan, dan kelihatan berada di bawah kibaran panji intelektual KH. Agus Sunyoto, M.Pd. Artinya, dengan karya-karya seputar pesantren studies, mereka memberi tahu publik apa yang pernah dilenyapkan dari sejarah.
Buku berjudul Pesantren Studies karya Ahmad Baso patut diapresiasi sebagai kontribusi kajian ilmiah kepada pembentukan identitas kesantrian dalam bingkai kebangsaan. Atau, buku Penakluk Badai : Biografi KH. Hasyim Asy’ari karya Aguk Irawan berkontribusi di bidang sastra. Penulis amati, bukan saja nama-nama yang disebutkan, tetapi juga telah sangat banyak sekali santri-santri pondok pesantren mulai menjamah dunia tulis-menulis. Mereka sadar perlunya menyemarakkan strategi penulisan identitas kebangsaan kita melalui kacamata memori historis kaum pesantren.
Pada tahun-tahun yang akan datang, Peringatan Hari Santri akan menjadi simbol perlawanan intelektual. Suatu kontribusi kaum pesantren untuk bangsa dan negara, setelah sebelumnya mereka berjuang dengan mengorbankan harta dan nyawa. Tetapi, pengorbanan harta dan nyawa belum tentu dihargai, bahkan mau dikhianati, maka sudah saatnya kaum santri bergerak di jalur intelektual dan kembali berjuang dengan kekuatan ide pikiran brilian. Selamat Hari Santri 1441 Hijriyah, semoga terus diridhai Kanjeng Gusti Allah swt.
*alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.