Hari Santri Dan Memori Sejarah Yang Dilenyapkan
KH. Imam Jazuli, Lc., MA.*
Ketulusan mengabdi pada bangsa dan negara tidak menuntut pamrih dan balas jasa, selagi tidak ada pikiran jahat untuk memutar balik fakta sejarah. Hari Santri bukan semata kegiatan serimonial dan kebanggaan mendapat pengakuan negara, melainkan juga ajang mengembalikan memori sejarah yang dilupakan.
Dr. Ir. H. Soekarno (bung Karno) mengerti betul kekuatan memori mengingat sejarah. “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” merupakan peringatan dari beliau bahwa sebagai sesama anak bangsa tidak boleh saling mengkhianati, apalagi ada kesengajaan untuk menghapus fragmen sejarah yang notabene sangat penting bagi bangunan kebangsaan.
Peringatan Hari Santri 2019 ini bagi kaum santri untuk berbicara kepada sesama putra bangsa lainnya, bahkan masyarakat dunia, tentang masa lalu mereka yang benar-benar ada tetapi kabur karena dikorupsi.
Korupsi Sejarah merupakan tindakan Extra Ordinary Crime, yang dampak negatifnya dirasakan generasi demi generasi. Mengembalikan “harta sejarah” yang hilang kepada bangsa dan negara adalah tanggungjawab bersama.
KH. Agus Sunyoto, M.Pd., adalah seorang tokoh agama namun sekaligus sejarawan pesantren dan budayawan muslim. Sebagai agamawan sekaligus intelektual, Agus Sunyoto mengumpulkan banyak fakta sejarah milik bangsa kita tetapi oleh sebagian putra bangsa sendiri hendak dilenyapkan. Salah satunya, dan bukan satu-satunya, banyak sejarawan yang menolak keras peristiwa Resolusi Jihad, sebelum kemudian wajah intelektualisme mereka dipermalukan.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah gusar. Tahun 1990an ada peringatan 45 tahun Pertempuran 10 November. Tetapi, nama-nama pahlawan yang muncul di televisi, koran dan majalah adalah orang-orang dari kelompok sosialis. Nyai Sholihah, ibunda Gus Dur berkomentar, “yang berjasa itu harusnya para Kiyai, seperti kiyai Hasyim Asy’ari. Kok bisa orang-orang sosialis itu?”
Peringatan Hari Santri, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai tugu kejujuran intelektual. Sesama putra bangsa, sudah tiba saatnya untuk bersatu, tanpa ada pengkhianatan, tanpa perlu ada konflik, bahkan tidak perlu ada kecurangan berupa upaya penghapusan jejak sejarah. Keadilan tidak saja di persidangan melainkan juga sejak dalam hati dan pikiran untuk berkata jujur.
Tahun 2014 ada Seminar Nasional di salah satu perguruan tinggi negeri besar di Jakarta. Mereka sangat bangga mengatakan bahwa organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berjasa besar terhadap pembentukan jati diri kebangsaan kita. Sebab, pada tahun 1926, PKI melawan kolonialisme Belanda dan Nahdlatul Ulama tidak.
Senior-senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tercoreng muka mereka ketika seorang sejarawan Amerika, Frederik Anderson, membuka fakta sejarah selebar-lebarnya. Tentang penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1945, Anderson mengatakan bahwa pada tanggal 22 Oktober 1945, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad. Pada tanggal 26 Oktober, koran-koran memuat teks Resolusi Jihad tersebut.
Salah satunya, teks Resolusi Jihad dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.
Pada mulanya, Resolusi Jihad ditujukan merespon rencana Netherland Indie Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari bersama kiai-kiai dari Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya tanggal 21-22 Oktober. Sehingga lahirlah Resolusi Jihad itu.
Sebelum deklarasi Resolusi Jihad, sudah ada dua barisan pejuang Islam: pertama, Barisan Hizbullah yang terdiri dari santri dan pemuda di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin. Kedua, Barisan Mujahidin yang terdiri dari para kiai di bawah pimpinan KH. Wahab Hasbullah. Sesudah deklarasi, terbentuklah Barisan Sabilillah yang dipimpin KH. Maskur untuk mensolidkan seluruh elemen, mengingat bunyi Resolusi Jihad mewajibkan (fardhu a’in) siapapun yang berada di dalam radius 94 km dari Surabaya untuk berjihad. Radius 94 km ini adalah ukuran muslim boleh qashar shalat.
Selain itu, teks Resolusi juga menggambarkan bahwa sebelum tanggal 22 Oktober umat Islam memang telah bergolak. Resolusi Jihad bertanggal 22 Oktober hanya melegitimasi perlawanan sebelumnya. Tidak heran jika santri semakin mengamuk ketika sore hari tanggal 26 Oktober, melihat Ingris aktif membangun banyak pos pertahanan berupa karung-karung pasir yang diisi senapan mesin. Santri menyerang berdasar legitimasi Kiai bertanggal 22 Oktober tentang wajib jihad.
Tanggal 27 Oktober, jumlah santri semakin bertambah. Mereka berduyun-duyun sembari meneriakkan ‘Allahu Akbar’. Tentara Indonesia baru ikut bergabung keesokan harinya tanggal 28 Oktober. Gabungan santri-tentara ini berhasil membunuh 1000 pasukan Ingris. Tanggal 29 Oktober 1945, perang belum berakhir. Kesepakatan damai antara Presiden Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta dan tentara Ingris baru tercapai di tanggal 30 Oktober 1945.
Resolusi Jihad belum dicabut, dan karenanya santri terus menembak. Tanggal 30 Oktober, Brigadir Jenderal Mallaby mati digranat dalam mobilnya saat melintas di Jembatan Merah. Inggris merasa dikhianati sehingga mengeluarkan ultimatum, “jika sampai 9 November jam 6 sore pembunuh Jendral Mallaby tidak diserahkan, maka tanggal 10 November jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir.”
Menjawab ultimatum tersebut, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari tanggal 9 November jam setengah 4 sore mengatakan, “fardhu a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari kota Surabaya untuk membela kota Surabaya.” Pecahlah perang 10 November yang kita akui bersama.
Tetapi, rentetan sejarah yang menunjukkan peran besar santri semacam itu dihapus dalam pelajaran sejarah. Tidak akan anda temukan dalam bacaan sejarah anak SD/SMP/SMA. Inilah korupsi sejarah yang kita ratapi.
Tentu saja, mengutuk kegelapan jauh lebih meletihkan dibanding dengan menyalakan lilin. Karenanya, Peringatan Hari Santri tahun ini harus menjadi dorongan moril, religius, dan intelektual agar semua santri-santri di seluruh tanah air mulai berkarya. Menulislah tentang sejarah diri kalian masing-masing dengan ketulusan dan kejujuran untuk mengabdi pada bangsa dan negara.
Pengabdian kepada bangsa dan negara dapat dimulai dengan jujur berkata tentang siapa jati diri kita yang sesungguhnya. Intelektual sekaligus ustad-ustad muda seperti Ahmad Baso, Aguk Irawan, dan lainnya cukup membanggakan, dan kelihatan berada di bawah kibaran panji intelektual KH. Agus Sunyoto, M.Pd. Artinya, dengan karya-karya seputar pesantren studies, mereka memberi tahu publik apa yang pernah dilenyapkan dari sejarah.
Buku berjudul Pesantren Studies karya Ahmad Baso patut diapresiasi sebagai kontribusi kajian ilmiah kepada pembentukan identitas kesantrian dalam bingkai kebangsaan. Atau, buku Penakluk Badai : Biografi KH. Hasyim Asy’ari karya Aguk Irawan berkontribusi di bidang sastra. Penulis amati, bukan saja nama-nama yang disebutkan, tetapi juga telah sangat banyak sekali santri-santri pondok pesantren mulai menjamah dunia tulis-menulis. Mereka sadar perlunya menyemarakkan strategi penulisan identitas kebangsaan kita melalui kacamata memori historis kaum pesantren.
Pada tahun-tahun yang akan datang, Peringatan Hari Santri akan menjadi simbol perlawanan intelektual. Suatu kontribusi kaum pesantren untuk bangsa dan negara, setelah sebelumnya mereka berjuang dengan mengorbankan harta dan nyawa. Tetapi, pengorbanan harta dan nyawa belum tentu dihargai, bahkan mau dikhianati, maka sudah saatnya kaum santri bergerak di jalur intelektual dan kembali berjuang dengan kekuatan ide pikiran brilian. Selamat Hari Santri 1441 Hijriyah, semoga terus diridhai Kanjeng Gusti Allah swt.
*alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.