Oleh: Patricia Leila Roose
Menepi sejenak dari hiruk pikuk ibukota dengan serangkaian perbincangan yang melulu politik. Apalagi setahun belakangan ini tiba- tiba semua orang "mendadak politik".
Tua- muda dengan berbagai macam latar belakang pengalaman pribadi dan pengalaman kebudayaannya menjadi antusias masuk di perbincangan itu.
Perlu sekiranya merenung dan berpikir jernih untuk mencoba melihat masalah yang selalu muncul dari masa ke masa. Salah satu yang layak jadi bahan perbincangan yaitu tentang masyarakat adat yang masih kental tradisinya dan arus perubahan yang selalu terjadi.
Pada jaman kolonialis barat datang ke negeri ini, sudah banyak terjadi benturan antara kaum adat dengan pikiran atau ide baru yang muncul.
Ketegangan itu akan selalu muncul termasuk ketika para kolonialis datang ke negeri ini dengan segala ragam perbedaan yang jauh lebih rumit.
Penakhlukan secara politik, ekonomi, dan militer terhadap bumi nusantara oleh Belanda tidak menyelesaikan persoalan. Urusan keyakinan dan tata nilai yang diyakini selama berabad-abad oleh penghuni wilayah nusantara ini tidak bisa serta merta dibasmi. Keyakinan adalah hal yang " esensial" bagi sebagian besar penduduk di wilayah ini.
Dalam menjalankan pemerintahan dengan gaya administrasi dan pemerintahan yang dianggap modern pada saat itu, pihak Belanda terpaksa melakukan kompromi-kompromi terhadap budaya setempat, dengan salah satu caranya adalah mendatangkan ahli- ahli di bidang ilmu kebudayaan untuk menjadi birokrat kolonial.
Memasuki fase kemerdekaan muncul ketegangan baru antara negara dengan kekuatan masyarakat adat yang masih kental dengan tradisi- tradisinya. Soal-soal yang disebut diatas memang tidak pernah selesai.
Karena antara tradisi dengan ciri kekerabatan yang kuat dalam satuan wilayah yang kecil akan selalu berhadapan dengan kuasa negara yang menguasai wilayah yang lebih luas, yang sering memaksakan keseragaman dalam cara berpikir, bertindak dan bersikap atas nama negara.
Masyarakat adat seringkali kalah tergusur dan harus tunduk pada pranata hukum baru. Kecuali:
- Kesatuan masyarakat adat yang memiliki posisi tawar kuat di dalam negara modern. Contohnya: Daerah Istimewa Yogyakarta di dalam menentukan Gubernur dan wakilnya.
Dalam amandemen UUD 1945 terdapat pasal 18b ayat 2 dan pasal 28i ayat 3. Dua poin di dalam undang- undang tersebut secara normatif menunjukkan kemajuan di dalam memperlakukan masyarakat adat dibanding masa sebelumnya.
Lahirnya UU Desa No 6 tahun 2014 dan Perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah memperkuat posisi masyarakat adat.
Akan tetapi di dalam kehidupan keseharian sering kita saksikan pelaksanaan undang-undang itu belum berjalan dengan baik.