Reuni 212 : Manifesto Perlawanan Islamis terhadap Nasionalis
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Purnama semakin indah ketika langit malam semakin pekat. Reuni 212 bagaikan bulan purnama ketika langit Indonesia semakin pekat oleh dominasi kekuatan kaum Nasionalis. Tumbangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) menyisakan dua lainnya: Nasionalis dan Islamis. Dalam konteks ini, Reuni 212 dapat dimengerti.
Penting disadari, Gerakan 212 bukan semata melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dan terakhir mengusung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jauh lebih dalam lagi, gerakan ini merupakan perlawanan kelompok Islamis terhadap dominasi kelompok Nasionalis.
Tawar-menawar Islamisme versus Nasionalisme akan abadi hingga kelak salah satu dari keduanya tumbang dan tenggelam menyusul Komunisme. Perkara ini tidak dapat dipisahkan dari kalkulasi kekuasaan di tubuh penguasa (pemerintah, partai politik, dan lainnya). Jika memang benar rezim hari ini dikendalikan kaum Nasionalis, phobia Islam akan menjadi worldview dinamika politik.
Tentu saja sangat mengerikan. Islamophobia atau ketakutan pada Islam jangan sampai tumbuh subur di masyarakat maupun di lingkungan elite (pemerintah dan parpol). Hingga detik ini gerakan Reuni 212 hanya sebatas kerumunan tanpa visi, hitam di atas putih, berupa organisasi dan segala jenis AD/ART mereka. Pemerintah tidak perlu takut berlebihan.
Namun, rekam jejak kelompok 212 ini memperlihatkan corak Islam politik. Persinggungan dengan Ahok, Anies, Sandiaga, dan Prabowo merupakan bukti cukup kelompok ini sebagai gerakan Islam politik. Dalam konteks ini, kecemasan berlebih pemerintah terhadap reuni-reuni 212 dapat dimengerti. Yaitu, kelompok Nasionalis di tubuh pemerintah ingin kejelasan status lawan yang sedang mereka hadapi.
Penulis rasa, Team Reuni 212 maju selangkah lebih progresif. Mengubah kerumunan “tanpa visi” menjadi gerakan berideologi adalah pilihan bijaksana. Setidaknya memberi warta pada dunia bahwa Reuni 212 adalah pucuk gunung es dari gerakan Islamisme yang jauh lebih besar. Dengan begitu, clear bahwa di Indonesia terdapat dua arus kekuasaan yang tersisa: Nasionalis dan Islamis. Dan, selamat tinggal Komunis.
Tanpa langkah progresif, tanpa visi dan ideologi, kelompok 212 akan mudah terserang virus yang merusak. Jumlah peserta yang datang ke acara reuni tersebut tampaknya memiliki latar belakang ormas dan afiliasi partai politik yang beragam. Hal ini merupakan anugerah besar, di mana umat muslim bisa bersatu atas satu keinginan yang sama.
Sebelum progresivitas, visi, dan ideologi politis kelompok 212 ini terbentuk, pemerintah tidak perlu berlebihan merespon. Apalagi sampai melahirkan sikap Islamophobia. Sudah jamak diketahui banyak kalangan, serta sudah menjadi gonjang-ganjing pembicaraan di warung-warung kopi, bahwa rezim Jokowi nyaris tidak memberi ruang bagi tokoh muslim. Publik berpikir, ini cara kaum Nasionalis mengebiri Islam.
Kalau dirasa-rasakan, masuk akal apa yang dikatakan Arbi Sanit, Pengamat Politik Senior dari Universitas Indonesia (UI). Yusril Ihza Mahendra dan Tuan Guru Bajang tidak ada apa-apanya di mata Jokowi dibandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama. Yusril dan TGB tidak banyak berkontribusi pada karier Jokowi dibanding Ahok. Jangan harap Yusri dan TGB dilirik Jokowi, apalagi Habib Rizieq Shihab (HRS).
Hanya saja, Arbi Sanit tidak melihat hubungan Yusril, TGB, dan HRS dalam konteks Islamisme versus Nasionalisme. Seandainya Arbi Sanit memahami ini, tentu masuk akal mengapa Yusril dan TGB sebagai pendukung Jokowi terdepak dari kekuasaan, sedangkan Prabowo sebagai pesaing utama tetap dirangkul. Di sinilah saya menyarankan supaya kelompok 212 mengusung visi dan ideologi politik yang lebih jelas, karena HRS bukan satu-satunya representasi Islamisme.
Sekali lagi, tumbangnya Komunisme memperuncing persinggungan kelompok Islamis versus kelompok Nasionalis. Pemerintahan Jokowi hari ini bagi banyak orang merepresentasikan dominasi kelompok Nasionalis. Sudah sangat masuk akal bila tokoh-tokoh muslim, seperti Yusril, TGB, HRS, Ustad Yusuf Mansur dari kalangan da’i milenial, atau bahkan tokoh-tokoh moderat PBNU, semua terlempar dari papan catur politik Jokowi.
Sudah tidak ada lagi pilihan bagi umat muslim selain bersatu padu, jangan mudah terprovokasi yang menjurus pada perpecahan, sebab lawan-lawan politik kita sudah jauh menyelam ke dasar kekuasaan, sedangkan kita masih bertengkar di perkara-perkara permukaan. Mari kita akur satu sama lain, guyub dan rukun, kemudian memainkan jenis permainan politik yang lain yang lebih elegan.
Reuni 212 ini bagaikan mutiara, tetapi harus dijaga, terlebih oleh teamnya sendiri. Jangan sampai mutiara ini jatuh ke dalam kotoran, yang membuat orang lain jijik meliriknya.*
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.