Oleh Wina Armada Sukardi, wartawan senior dan pengamat sosial politik
TRIBUNNEWS.COM - Banyak orang terkejut manakala Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar) pada saat-saat terakhir dimulainya Musyawarah Nasional (Munas) Golkar.
Bahkan ada yang sampai merasa tidak mengerti mengapa hal itu terjadi. Tapi saya tidak. Saya tidak terkejut sama sekali. Saya tidak heran. Saya memahami sepenuhnya, dan saya malah melihat strategi yang ciamik (sangat baik) yang dikembangkan Bamsoet di balik pengunduran dirinya itu.
Pertama-tama, dengan tetap menunjukan hasrat untuk meraih ketua umum Golkar sebelum Munas dimulai, Bmsoet telah menciptakan diskursus, wacana dan debat yang terus menerus mengenai perhelatan pemilihan ketua umum Golkar. Dengan cara itu, apapun isinya, hampir setiap hari ada berita atau ulasan mengenai pelaksanaan Munas Golkar. Ini memberikan berbagai keuntungan buat Golkar.
Pemberitaan yang terus menerus ikhwal Golkar otomatis membuat Golkat mampu meraih publikasi yang dahsyat, dan ini dapat menjaga popularitas Golkar di antara berbagai pemberitaan ketatanegaraan lainnya.
Selanjutnya narasi yang dikembangkan Bamsoet dengan pencalonannya juga memberi dampak positif buat Golkar sendiri. Adanya pencalonan Bamsoet menciptakan “persepsi” kepada publik, Golkar merupakan partai yang demokrasi. Golkar bukanlah partai yang dapat dan mudah diintervensi atau dikendalikan oleh seorang atau sekelompok kecil orang.
Pencalonan Bamsoet menjadi semacam simbol perlawanan bahwa di Golkar biasa terjadi pluralisme, hetrogen dan kebebasan dalam melaksanakan hak konstitusional partai. Bamsoet ingin menunjukan Golkar tidaklah sepetti kebanyakan partai yang dapat “disetir” satu atau beberapa orang saja. Dengan begitu, Bamsoet menunjukan Golkar merupakan partai yang demokratis. Tentu hal ini diharapkan bakal menaikan kredibilitas Golkar.
Banyak pihak yang keliru dengan menuding dengan pengunduran dirinya, Bamsoet telah “menghianati” para loyalisnya. Ini juga keliru. Bamsoet memiliki perhitungan yang lebih akurat. Pengunduran dirinya justeru terutama untuk memprotek atau melindungi para royalisnya itu. Mengapa? Kalau Bamsoet tetap maju bertandingan memperebutkan kursi ketua umum, berarti dia dihadapkan pada kemungkinan: meraih semuanya, atau justeru kehilangan semuanya. Artinya, kalau Bamsoet tetap bertarung, kalau dia keluar sebagai pemenang, maka dia memang dapat mengendalikan total Golkar. Sebaliknya, kalau
Bamsoet keok, maka dia kehilangan seluruhnya di Golkar. Kalau cuma jabatannnya sebagai ketua MPR saja yang dicopot, mungkin buat Bamsoet dia sudah ikhlas dan sudah sangat siap menerimanya. Sebagai patarung dia tahu persis konsukuensi dari kekalahan. Tetapi bukan ini yang menjadi konsennya. Dia menyadari seandainya dia bertarung dan keok, lebih dari itu, seluruh loyalisnya bakal pula “terdepak” dari posisi-posisi di Golkar, mulai dari yang strategis sampai yang “ecek-ecek” sekalipun.
Hal ini karena selesai “pertempuran,” pastilah pihak lawan bakal melakukan babat rumput! Semua personil yang terkait dengan Bamsoet sudah pasti dibabat dan disikat habis dari jajaran kepengurusan Golkan, termasuk tidak diberikkan menduduki jabatan publik lain. Salah satunya dalam penyusunan calon legislatif yang akan datang, loyalis Bamsoet tidak akan diberikan kesempatan lagi.
Nah, Bamsoet tidak mau berpikir egois untuk diri sendiri. Dia tetap memperhatikan para loyalisnya agar lima tahun ke depan tetap dapat berkiprah di Golkar. Itulah sebabnya manakala sebelum mundur, Bamsoet minta janji dan kepastian dari pihak lawannya bahwa orang-orangnya bakal diadopsi di kepengurusan Golkar dan jabatan-jabatan di berbagai lembaga. Jadi, mundurnya Bamsoet justeru untuk menyelamatkan para pendukung intinya.
Bamsoet juga sudah menakar ujung manuver-manuvernya. Ketika para penisepuh dan senior Golkar memintanya mundur dari pencalonan, itu berarti dukungan suara mengalir ke arah lawannya. Bamsoet politikus senior yang faham benar peta peluang dan ancaman. Sewaktu ancaman lebih besar dari peluang, Bamsoet kali ini memilih memakai peluang yang ada ketimbang memaksakan diri menghadapi ancaman.
Selain itu, lewat pengunduran dirinya di saat bakal dimulainya Munas, Bansoet memberi sinyal kepada lawan-lawan politik Golkar, bahwa di Golkar betapapun ada benturan keras, ada dinamika yang kencang, tetapi jangan lupa, Golkar sekarang ialah partai yang solid.
Partai yang kompak. Partai yang mempunyai penyelesaian khas dan damai. Pesan ini akan terkirim sebagai sinyal ke depan Golkar akan tetap menjadi partai yang kuat, yang tidak mudah ditaklukan pada Pemilu maupun pemilihan kepala daerah.
Terakhir, Bamsoet juga berhitung, ke depan peluangnya untuk meraih posisi lebih tingg lagi, misalnya menjadi Wapres, tetap terbuka.
Posisinya sebagai ketua MPR yang strategis dan dinamika politik yang terjadi di masa depan, masih membuka berbagai kemungkinan. Dalam hal ini Bamsoet melihat, pilihannya mundur sebagai calon ketua umum Golkat, menjadikan dirinya tetap kartu trup atawa kartu yang hidup.
Pengunduran diri Bamsoe sebagai calon ketua umum Golkar memang ditanggapi dengan berbagai ragam pendapat dan sikap. Namun sebagai besar memandang pengunduran diri itu sebagai cermin sikap Bamsoet yang ksatria, tahu diri, mementingkan partai daripada ambisi pribadi, loyal kepada pimpinan, tidak serakah jabatan, cerdik dan luwes.
Bamsoet juga dinilai politikus yang punya komitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuatnya. Jelas ini modal Bamsoet mengarungi lautan politik di masa depan. Dan saya yakin sejak awal pula Airlangga faham ini. Bamsoet dan Airlangga bukan saja merupakan dua karib, tetapi isteri mereka pun bersahabat.
Maka sewaktu beberapa bulan silam, saya berbincang-bingang soal perebuatan ketua umum Golkar dengan shobih saya, Ilham Bintang, ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, dan dia sempat berujar, “Ujung-ujungnya Bamsoet kemungkinan besar akan mengundurkan diri untuk menaikan citra Golkar,” saya menganggu. Setuju.