Catatan Egy Massadiah dari Aceh
TRIBUNNEWS.COM - Kita tidak sedang bicara era kekinian, di mana hampir semua masyarakat di Indonesia sudah tahu gelombang tsunami.
Kita sedang berbicara tahun 2004. Ketika itu, pejabat dan kaum cerdik-pandai pun tidak tahu, apa tsunami, seperti apa wujud tsunami, dan apa dampak tsunami.
Persis 15 tahun lalu, 26 Desember 2004, gempa bumi berskala mahabesar, melebihi angka 8 Richter terjadi di Samudera Hindia, 25 km barat laut Aceh.
Selang tiga puluh menit kemudian, datang gelombang tinggi yang disebut tsunami menghantam dan meluluhlantakkan Serambi Mekah.
Tak kurang dari 230.000 nyawa melayang, dengan kerugian material yang ditaksir mencapai Rp 7 triliun.
Jumlah korban sebanyak itu, terjadi karena “ketidaktahuan” masyarakat tentang bahaya tsunami pasca gempa besar.
Ketidaktahuan ditambah tradisi “jalan-jalan pagi ke pantai” di hari Minggu yang menjadi tradisi sebagian besar warga Aceh, menambah parah keadaan.
Baca: Ketika Sang Jenderal Menyuguhkan Sukun Goreng
Akibat patahan lempeng dasar laut, terjadi gempa dahsyat. Air laut pun menyusut cepat. Laut Aceh yang terkenal banyak ikannya, sontak menjadi pemandangan menarik.
Masyarakat yang sedang berada di pantai saat gempa, bukan lari menjauhi bibir pantai, malah menghambur ke pantai dan memunguti ikan-ikan yang ditinggal oleh air laut yang menyusut cepat.
Tidak satu pun yang menyangka, susutnya air segera akan disusul naiknya kembali permukaan laut dalam bentuk “monster tsunami” yang mematikan. Syahdan, saat gelombang tinggi datang, masyarakat pun panik.
Lari seribu langkah dalam kecepatan pontang-panting, sangat tidak sebanding dengan laju tsunami yang sama derasnya dengan kecepatan rata-rata pesawat terbang yang 700 km per jam.
Ribuan manusia di pinggir pantai, tersapu tsunami setinggi 24 meter (80 feet).
“Saya bisa merasakan betul derita masyarakat Aceh, karena saat tsunami terjadi saya ada di sini. Jika saya selamat, itu karena posisi tugas saya jauh dari pantai,” ujar Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo.