Waspada bencana harus menjadi mentalitas bangsa Indonesia, termasuk warga Sigi. Karena negara kita memang rawan bencana, dan akan mengalami tragedi musibah yang berulang. Tinggal menunggu waktu, kecuali ada perubahan perilaku total, tidak menebang pohon dan mulai menanam pohon baru.
Doni benar. Sebab, kejadian banjir bandang dan longsor di Sigi, ternyata juga bencana berulang. Kejadian serupa terjadi tahun 2011, di tempat yang sama. Ketika itu bahkan menelan tujuh korban jiwa.
Sedangkan kejadian terakhir, dua orang meninggal. Gubernur Longki bahkan mengungkapkan salah satu korban meninggal ini masih kerabat dekat dengan korban meninggal tahun 2011.
Tak hanya menyerukan kewaspadaan, Doni bahkan menyiapkan dana Rp 2 miliar untuk program vegetasi. Dana itu diperuntukkan pembuatan bibit bagi penghijauan kembali lereng-lereng yang botak. Di lokasi banjir, Doni juga menyerahkan dana DSP sebesar 500 juta rupiah yang diterima langsung Bupati Sigi Irwan Lapata.
Sungguh benar. Sepanjang perjalanan dari Palu ke Sigi, Doni melihat dengan mata-kepala sendiri, betapa banyak kerusakan alam terjadi.
Pohon-pohon ditebang tanpa ada penanaman pohon baru. Apa yang akan terjadi di kemudian hari kalau bukan longsor?
Lebih miris perasaan Doni Monardo demi melihat langsung ke lokasi banjir bandang. Di sana, ia mendapati rongsokan sampah gelondongan kayu ukuran besar yang terbawa banjir bandang dan menerjang perumahan penduduk.
Yang membuat mata tertegun adalah, sebagian besar kayu-kayu yang tersapu banjir itu dalam bentuk potongan rapi. Hanya sedikit dahan dan batang pohon utuh.
Kesimpulannya, di atas sana terjadi penebangan pohon secara liar (illegal logging).
Tampak Doni menahan geram demi melihat kejadian di depan matanya. Doni menyerukan perlunya kesadaran kolektif untuk mengubah perilaku. Kesadaran kolektif yang bersumber dari hati.
"Percuma bicara penegakan hukum untuk illegal logging kalau bukan berangkat dari kesadaran masyarakat. Bisa-bisa, penegakan hukum illegal logging hanya akan membuat penjara penuh, tetapi tidak mengubah apa pun di lapangan," tegas Doni.
Peringatan serupa juga Doni juga ungkapkan di Sumbar. Sebagai putra Minang, Doni bahkan menyitir filosofi masyarakat Minang,
“Alam takambang jadi guru”, yang artinya kira-kira ”jadikan alam sebagai guru, alam sebagai sumber ilmu“. Nenek moyang bangsa Minang jelas menjadikan alam sebagai guru.
Mestinya, terpatri tradisi untuk tetap senantiasa belajar dari alam. Filosofi leluhur yang menjadi kearifan lokal harus dijaga oleh para ninik-mamak, cediak pandai, dan alim ulama, yang dalam istilah adat disebut “tigo tungku sajarangan”. Ketiganya harus dilibatkan, mengambil peran aktif dalam proses bermasyarakat.
Didepan tokoh tokoh adat dan agama Doni mengingatkan, bahwa di dalam gen orang Minang ada tradisi kental yakni bakatnya berdagang, merantau.
"Orang Minang itu berdagang. Bukan menjadi panambang liar dan perusak alam. Kasus-kasus kebencanaan alam di Sumatera Barat lebih banyak karena ulah manusia. Baik berupa alih fungsi lahan, penambangan liar, illegal logging, dan lain sebagainya," kata Doni mengkritik "sanak saudaranya".